Perbedaan Data Berpotensi Timbulkan Kerugian Negara

INVESTIGASI BATU BARA

“Perbedaan Data Berpotensi Timbulkan Kerugian Negara”

KPK menyoroti pengawasan yang lemah karena inspektur tambang kurang berdaya di daerah.

Ternate, 9 Juni 2014. Ini waktu bersejarah dalam sistem pengawasan industri batu bara. Ketika itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menginisiasi Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GN-PSDA). Selain Ketua KPK, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung menandatangani deklarasi tersebut.

Mereka berkomitmen untuk menegakkan hukum atas pelanggaran di sektor ini, memastikan terwujudnya tata kelola kekayaan alam yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lalu, di dalamnya dibentuklah koordinasi dan supervisi mineral dan batu bara (Korsup Minerba).

Setelah berjalan empat tahun, banyak hal yang ditemukan, mulai dari izin ribuan tambang yang belum clean and clear, berderetnya pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan, hingga maraknya pelaku usha yang tidak menyampaikan laporan pengangkutan atau pengapalan kepada pemerintah.

KPK juga mengamati kekacauan akibat perbedaan data perdagangan batu bara antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Perbedaan data ini berpotensi merugikan negara dalam pembayaran pajak dan royalti. “Sangat besar kemungkinannya,” kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif.

Terakhir, komisi antirasuah menindaklanjutinya dengan menyusuri aliran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, salah satu jalur utama lalu-lintas batu bara terbesar di Indonesia pada November lalu. Mereka menemukan indikasi praktik perdagangan batu bara ilegal.


Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif saat wawancara dengan Katadata di ruang perpustakaan Gedung Merah Putih KPK.(Hindra Kusuma Wijaya|KATADATA)

Apa pokok persoalan terjadinya perbedaan data perdagangan batu bara antarakementerian atau instansi?

Sumbernya tak berdasarkan pada satu data. Kementerian ESDM, Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Pajak memiliki data sendiri. Seharusnya, pemerintah menggunakan satu peta atau one map policy. Sampai hari ini, untuk satu komoditas pun belum punya satu data.

Apakah selisih data perdagangan tersebut berpotensi menyebabkan kerugian negara?

Sangat besar. Pembayaran pajak atau royalti dihitung berdasarkan data, berapa banyak yang diambil, diekspor, nilai jual ekspor. Juga mempengaruhi dana pasca-operasi tambang yang harus dibayar. Jadi, ketidaksinkronan data ini berpotensi sangat besar menimbulkan kerugian negara.

Apa rekomendasi KPK kepada kementerian atau instansi terkait perbedaan data perdagangan ini?

Kami mulai dari Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GN-PSDA), dan sekarang membantu kebijakan satu atap di bawah Kementerian Ekonomi. Rekomendasinya banyak, salah satunya, masing-masing kementerian dan lembaga harus saling membagi data, misalnya, di antara Kementerian ESDM, Pertanian, dan Agraria. Masing-masing ada datanya. Nah, sebagian tidak saling berbagi.

Kedua, kami ingin memperbaiki tata kelola pemberian izin sehingga tercatat, koordinatnya jelas, tak terjadi tumpang tindih. Misalnya di Kalimantan, pemda telah memberikan izin untuk tambang sekaligus kebun.

Bahkan ada izin yang diberikan di dalam hutan yang tidak boleh diproduksi, misalnya kawasan konservasi atau hutan lindung. Kami pun meminta kesediaan provinsi dan kabupaten agar datanya dikumpulkan sehingga bisa dipakai sebagai alat mengambil sebuah kebijakan.


Lalu lintas pengiriman batu bara ekspor melewati Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. (19/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Mereka sudah bersedia mengikuti rekomendasi ini?

Awalnya agak susah. Sekarang kami mulai dengan khusus soal peta dari Kalimantan Tengah. Penerapannya masih menunggu beberapa kabupaten lagi. Peta Kalimantan Tengah skalanya 1:50.000.

Kunjungan ke Kalimantan Timur pada November lalu yang dipimpin Ketua KPK Agus Rahardjo menemukan beberapa praktik yang diduga terjadi perdagangan batu bara ilegal. Mengapa memilih Kalimantan Timur?

Kalimantan Timur merupakan daerah yang memiliki paling banyak konsesi batu bara. Kedua, kami mendapatkan laporan dari masyarakat bahwa banyak sekali kegiatan-kegiatan tambang ilegal. Bahkan, banyak perdagangan batu bara yang tidak melalui bea dan cukai.

Orang gampang pergi melalui anak sungai, tanpa terkontrol. Nah, itu negara kehilangan uang yang sangat banyak dari yang ilegal dan tak terlaporkan. Kalaupun terlaporkan, mungkin jumlahnya berbeda dengan jumlah sesungguhnya.

Titik-titik apa yang diperlukan untuk peningkatan pengawasan di Kalimantan Timur?

Pertama, ketersediaan data. Kami minta data kepada gubernur agar mendapat semua jumlah izin batu bara. Kami juga meminta ke Kementerian ESDM. Memang ada kesulitan karena dulu pemberian konsesi bisa dilakukan oleh bupati, sekarang melalui gubernur.

Banyak bupati yang sekarang sudah tak menjabat lagi, atau pemerintah kabupatennya kurang kooperatif untuk menyerahkan data-data itu ke provinsi dan Kementerian ESDM. Oleh karena itu, kami fasilitasi.

Apa yang di Kalimantan Timur ini terkait dengan pengungkapan kasus mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari?

Bukan cuma dia yang memang sudah terbukti. Kami banyak mendapatkan laporan. Kami tidak mau menindak saja, tapi juga upaya-upaya pencegahan supaya dalam proses perizinan ke depannya lebih baik. Salah satu yang kami lihat memang kasus Rita.

Bagaimana KPK menilai optimalisasi penerimaan pajak batu bara? Apa sajakah yang menjadi kendala dan perlu mendapat perhatian Direktorat Jenderal Pajak?

Karena sumber datanya tidak satu sehingga perlu dirapikan. Direktorat Pajak seharusnya tidak hanya mendasarkan perhitungan dari laporan pengusaha.

Mereka harus melihat langsung di lapangan. Tapi Direktorat Pajak tak bisa kerja sendiri, harus dibantu oleh Kementerian ESDM dan yang terkait. Direktorat Pajak bisa menilai apakah wajar atau tidak lewat kunjungan lapangan, melihat jumlah operasi. Jangan sampai yang dilaporkan tidak merepresentasikan kegiatannya.


Praktik batu bara ilegal dengan modus pengembangan perumahan di Kalimantan Timur. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Sejak 2014 KPK membentuk Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Mineral dan Batu Bara. Bagaimana evaluasi internal KPK atas pekerjaan Korsup?

Kami sedang evaluasi tahap akhir karena terkait banyak kepentingan termasuk Panglima TNI, Kapolri dan Presiden. Mudah-mudahan setelah tahun politik ini kami bisa mengeluarkan rekomendasi lanjutan dari GN SDA itu.

Apa saja rekomendasi lanjutan untuk GN-SDA?

Rekomendasi paling utama adalah sistem perizinan. Kami sudah mulai, masih diperbaiki. Sekarang izin di tingkat provinsi, bupati tidak dapat mengeluarkan izin.

Kedua, soal kontrol. Selama ini ESDM jarang melakukan pengawasan ke lapangan, selalu diserahkan ke pemda. Padahal Direktorat Jenderal Minerba punya kewenangan untuk melihat langsung.

Ketiga, dari sistem perpajakan berharap bisa lebih ditingkatkan. Terakhir, soal kepatuhan terkait dengan persyaratan lingkungan. Karena itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa ikut.

Berapa perkiraan keuangan negara yang berhasil diselamatkan oleh Korsup?

Agak banyak dari Korsup, terutama PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dari kayu saja agak aneh. Kalau kita selidiki, PNBP dari kayu makin tinggi, padahal kayu kan makin sedikit? Berarti, PNBP dari kayu dulu tidak masuk. Sebenarnya, tindakan pencegahan lebih banyak mengembalikan uang negara daripada penindakan.

Bagaimana Anda melihat pengawasan pertambangan?

Sebenarnya, berdasarkan hukum bisa, tetapi kalau kita lihat inspektur tambang yang ada di Kementerian ESDM, kelihatannya sekitar 100-an. Itu harus bertanggung jawab terhadap seluruh Indonesia. Yang legal maupun ilegal, harusnya sudah cek.

Inspektur tambang beralasan tak mendapatkan pendanaan dari pemda karena mereka pegawai melekat di kementerian?

Sudah saya bicarakan. Menurut saya kebodohan. Inspektur tambang bertanggung jawab ke seluruh Indonesia. Maka, Kementerian ESDM harus menyediakan dana untuk operasional.

Tidak ada satu pelanggaran tambang pun yang disidik oleh inspektur tambang, yang ada di Kementerian ESDM. Padahal, banyak pelanggaran. Ada yang tidak membayar royalti, tidak membayar cost mining rehabilitation. Tapi tidak diapa-apakan.

Sekurang-kurangnya, mereka memberikan rekomendasi dengan mengatakan ini ilegal. Atau, mereka bisa melaporkan –kalau mereka kurang mampu- ke aparat penegak hukum lainnya.

Apa perlu lembaga baru untuk mengatasi tambang ilegal?

Tidak perlu, yang penting kerja serius. Daripada bikin lembaga baru, belum tentu berhasil. Manfaatkan yang ada, yang benar-benar baik, integritasnya bagus, dilengkapi alat dan fasilitas yang bagus. Masak menjadi inspektur tambang tapi berkantor di Jakarta tiap hari? Inspektur itu seperti mandor di pasar atau keliling di pasar. Bukan duduk di Jakarta.


Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.