Perlunya Reformasi Kelembagaan Otoritas Perpajakan, PRAKARSA Usulkan Pemisahan Ditjen Pajak dan Bea Cukai dari Kemenkeu

Foto: Gedung Kementerian Keuangan RI – kemenkeu.go.id

Rekening gendut yang dimiliki mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak atau Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo dan pembubaran klub motor gede di lingkungan Ditjen Pajak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memicu turunnya kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. Di sisi lain, kasus Rafael Alun Trisambodo dan klub motor gede telah mendorong wacana perlunya reformasi kelembagaan otoritas perpajakan di Indonesia secara mendasar.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, lembaga riset dan advokasi kebijakan, Ah Maftuchan menuturkan, kasus tersebut terjadi karena kuranganya pengawasan internal terhadap otoritas perpajakan. Oleh sebab itu, perlu ada reformasi kelembagaan Ditjen Pajak agar kinerja dan pengawasannya dapat lebih optimal sehingga kepercayaan publik akan makin tinggi.

“Reformasi kelembagaan otoritas perpajakan dapat dilakukan dengan memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan menjadi lembaga otonom di bawah presiden langsung. Agar reformasi otoritas pendapatan negara semakin komprehensif, maka Ditjen Bea dan Cukai juga dapat dipisahkan dari Kementerian Keuangan dan disatukan dengan Ditjen Pajak menjadi Lembaga Penerimaan Negara (LPN)” usul Ah Maftuchan, Kamis (2/3/2023).

Lembaga Penerimaan Negara adalah hasil reformasi kelembagaan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Hal ini akan mempengaruhi tata kelola kelembagaan dan memperbaiki kinerja perpajakan, bea dan cukai secara keseluruhan. Dampaknya, penerimaan negara akan semakin meningkat sesuai dengan potensi yang ada dan kepercayaan publik terhadap otoritas penerimaan negara akan semakin meningkat.

“Dengan dipisahkan dari Kementerian Keuangan, secara umum tata kelola kelembagaan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai sebagai lembaga otonom bisa mengurangi ‘super power’-nya Kementerian Keuangan karena memisahkan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara. Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan dan mengurangi potensi conflict of interest” tegas Ah Maftuchan yang juga sebagai Co-coordinator Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA).

Untuk memperkuat langkah tersebut, menurut Maftuchan, penting juga adanya reformasi pengadilan pajak yang selama ini berada di bawah Kementerian Keuangan untuk dipindah di bawah Mahkamah Agung (MA).

Maftuchan meyakini, jika hal ini dilakukan bisa menjadi langkah yang bagus di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena ini akan sangat berdampak bagi orientasi dan tata kelola penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun non-pajak ke depan.

Sebenarnya, kata Maftuchan, wacana pembentukan otoritas pengumpul pajak yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sudah mengemuka sejak awal periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun wacana ini menguap karena ada keengganan dari internal Kementerian Keuangan.

“Kalau pembentukan Lembaga Penerimaan Negara ini mulai dilakukan, maka akan berdampak signifikan bagi pemerintah kita, akan ada benefit secara sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut. Lembaga Penerimaan Negara dapat menjadi tonggak baru bagi Indonesia dalam rangka meningkatkan kemampuan mobilisasi sumber penerimaan negara dan meningkatkan kemampuan negara dalam pendanaan pembangunan Indonesia ke depan” tutup Maftuchan.

Pada dasarnya pembentukan Badan Penerimaan Pajak sebagai model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) yang langsung di bawah Presiden telah menjadi wacana sejak lama dan sudah diterapkan oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, China dan Selandia Baru.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.