Komitmen untuk memerangi aliran keuangan gelap atau illicit finansial flows telah menjadi komitmen global yang dimandatkan dalam target Sustainable Development Goals (SDGs). Praktik keuangan gelap terjadi dalam berbagai modus seperti pencucian uang, suap transnasional, atau penghindaran dan penggelapan pajak. Permasalahan aliran keuangan gelap melalui penghindaran dan penggelapan pajak secara umum lebih banyak dialami oleh negara-negara berkembang yang ditandai dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju (European Parliament, 2014). Akibatnya, menurut Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) (2015) aliran keuangan gelap khususnya yang terjadi di negara berkembang dan mengalir ke negara maju berpotensi memperburuk kesenjangan antar negara.
Penelitian PRAKARSA (2019) menunjukkan bahwa pada rentang waktu tahun 1989-2017 Indonesia mengalami kehilangan potensi penerimaan pajak yang nilainya mencapai 11,1 miliar USD dari praktik trade misinvoicing di enam komoditas ekspor unggulan (batu bara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi dan udang-udangan/krustasea). Potensi terbesar hilangnya penerimaan berasal dari batu bara yaitu 5,32 miliar USD. Di sisi lain, dari tahun ke tahun nilai potensi kehilangan penerimaan pajak mengalami peningkatan dari 36,8 ribu USD pada 1989 menjadi 897,8 ribu USD pada 2017.
Pada tahun 2022, PRAKARSA kembali melakukan riset mengenai aliran keuangan gelap di sektor perikanan dan batu bara serta produk turunannya selama 10 tahun terakhir. Hasil temuan dari penelitian tersebut akan disampaikan dalam diseminasi hasil riset yang akan diselenggarakan secara hybrid pada Selasa (31/01/2023).
Kegiatan luring dilaksanakan di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta, sedangkan acara daring dapat di ikuti melalui Zoom Meeting. Kegiatan dapat diikuti dengan cara mendaftar terlebih dahulu pada laman berikut bit.ly/iffprakarsa.
Pada kesempatan ini akan hadir juga Ibrahim Kholilul Rohman dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Denny Visaro dari DDTC Indonesia, dan Maliana Lumbantoruan selaku Deputy Director PWYP Indonesia sebagai penanggap diskusi kali ini.