Jakarta, The PRAKARSA – PRAKARSA menilai target rasio pajak Indonesia di RPJP 2045 masih terlalu rendah. Dalam dokumen rancangan akhir RPJPN 2025–2045 yang baru saja diluncurkan oleh Bappenas, pemerintah menetapkan target rasio pajak terhadap PDB sebesar 18–20% di tahun 2045.
“Indonesia kurang berani menetapkan target rasio pajak yang lebih tinggi pada 2045, nilainya hanya setara dengan realisasi rasio pajak negara maju tahun 2023 dan masih relatif rendah dibandingkan negara di kawasan regional dan negara berkembang lain,” ujar Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) tahun 2021 telah mencatat rata-rata rasio pajak sebesar 33,5%. OECD bisa menjadi referensi karena mereka telah membangun standar yang tinggi untuk kebijakan ekonomi negara-negara berpendapatan tinggi, dimana Indonesia diproyeksikan telah masuk kelas tersebut pada 2045.
Mengacu pada kondisi beberapa tahun ini, rasio pajak masih hanya berkisar pada 10-11 persen terhadap PDB. Hal ini mencerminkan ketergantungan pendapatan Indonesia dari sumber lain seperti utang yang tentu sangat membebani dan cenderung tidak stabil. Pendanaan dari hutang yang terus berkesinambungan ini juga dikhawatirkan akan mempengaruhi kemandirian dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang, rasio pajak yang semakin tinggi akan memberikan kestabilan fiskal pemerintah. Dari kestabilan fiskal ini, diharapkan akan mendorong stabilitas sosial dan ekonomi sebagai dampak redistribusi hasil pajak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan.
“Bagaimanapun, tingkat rasio pajak yang tinggi diprioritaskan untuk memastikan bahwa pemerintah memiliki sumber pendapatan yang memadai dalam membiayai pengeluaran publik yang vital seperti infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, keamanan, dan program sosial.” tambah Maftuch.
Terget rasio yang tertera dalam rancangan RPJPN ini tidak cukup jika Indonesia ingin menjadi negara maju di 2045. Belajar dari negara maju yang memiliki rasio pajak tinggi, mereka mengimplementasikan sistem pajak yang progresif dan tetap memiliki kepatuhan yang tinggi. Sistem pajak yang progresif membantu pemerintah mengumpulkan pajak yang efektif dari masyarakat sesuai dengan tingkat pendapatannya.
Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam 20 tahun kedepan untuk bisa meningkatkan rasio pajak ini.
“Rasio pajak Indonesia dapat lebih tinggi dengan memperluas basis perpajakan, optimalisasi pajak sektoral termasuk memerangi penghindaran pajak dan memperluas alternatif pajak baru seperti pajak untuk orang kaya” imbuh Samira, Peneliti The PRAKARSA.
Salah satu bentuk perluasan basis perpajakan ialah meningkatkan bracket untuk pajak bagi masyarakat dengan pendapatan atau konsumsi yang tinggi. Basis yang ada saat ini dianggap relatif terbatas dan masih banyak ruang yang bisa dieksplorasi.
Selain itu, pemerintah bisa menggenjot optimalisasi perpajakan sektor-sektor potensial memanfaatkan momentum pembangunan global. Dalam beberapa tahun kedepan, pembangunan global akan terarah menuju ekonomi yang berkelanjutan.
Indonesia memiliki keunggulan beberapa komoditas ekstraktif yang menunjang industri berkelanjutan dalam jumlah sangat besar seperti bijih nikel, bauksit, tembaga, serta mineral lain. Dengan kebijakan hilirisasi komoditas mineral, diharapkan penerimaan negara melalui ekspor barang olahan bisa meningkat belasan kali lipat daripada mengandalkan perdangangan bahan mentah.
Dengan hal ini, pemerintah juga bisa secara praktis berfokus untuk meningkatkan pendapatan dari sektor sumberdaya alam yang masih memiliki kontribusi pajak relatif rendah.
Berdasarkan dokumen rancangan RPJPN 2025-2045, pemerintah perlu menginisiasi instrumen pajak yang lain. Dokumen ini baru menyebut inisiasi sin tax dan carbon tax, di saat ada beberapa pajak lain seperti pajak kekayaan dan pajak warisan yang berpotensi untuk ditelaah dan diterapkan.
Indonesia sendiri telah memiliki pengalaman melampaui target penerimaan dalam realisasi pajak. Hal ini bisa menjadi bekal kedepan untuk menetapkan target pajak yang lebih tinggi.
Penegakan hukum akan menjadi salah satu kunci dalam pencapaian target rasio pajak yang lebih tinggi. Hal ini menyasar dari praktik pengumpulan pajak, kegiatan bisnis, hingga distribusi hasil pajak.
“Pada aspek pengumpulan pajak, pemerintah harus membentuk sistem yang kuat dalam mengidentifikasi para subyek pajak beserta nominal pajak yang harus dibayarkan. Selama ini, masih banyak kasus subyek pajak potensial baik individu maupun korporasi yang melakukan pengemplangan dan penghindaran pajak secara signifikan, atau malah lolos dari kewajiban pembayaran pajak.” kata Maftuch.
“Dalam praktik bisnis, pemerintah harus menutup celah regulasi sehingga perusahaan bisa tertib administrasi. Kedepan, tidak lagi ada korporasi yang melakukan manipulasi harga, laporan keuangan, ataupun dokumen-dokumen terkait bisnis yang berpotensi menurunkan potensi penerimaan pajak. Selain itu, harus ada upaya tegas oleh aparat penegak hukum dalam mengurangi aktivitas perdagangan dan ekspor komoditas ilegal yang merugikan negara secara sangat signifikan.” tambah Maftuch.
“Yang juga perlu diperhatikan, pemerintah wajib memastikan efektivitas alokasi dan distribusi penerimaan perpajakan. Ini sangat penting mengingat distribusi pajak oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi partisipasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak. Dengan distribusi yang efektif dalam jangka panjang, ini akan semakin menginsentif mereka untuk aktif berkontribusi dalam pembangunan yang bermanfaat bagi publik secara umum.” tutup Samira.