IRabu 1 April 2020 lewat perantara salah satu aplikasi daring, PRAKARSA menyelenggarakan webinar dengan tema “Pelayanan Kesehatan dan Penanganan Covid-19 di Daerah”. Webinar ini diselenggarakan dengan tujuan agar semua pihak baik pemerintah, pemerintah daerah dan aktor non-pemerintah dapat berbagi ide terbaik guna menekan penyebaran pendemi covid-19 dan meminimalisir dampak yang diakibatkan oleh persebaran virus ini.
Webinar ini diselenggarakan satu hari setelah informasi mengenai terbitnya 4 regulasi dari pemerintah pusat yang merespon peningkatan kasus penyebaran covid-19. Dr. Hermawan Saputra yang merupakan salah satu anggota gugus tugas penanganan covid-19 di Indonesia menyatakan bahwa baru kali ini pemerintah pusat mengeluarkan 4 regulasi sekaligus dalam waktu satu hari. Adapun regulasi tersebut sebagai berikut: Kepres No. 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pendemi Covid-19, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyaluran DAK Fisik Bidang Kesehatan dan Dana BOK Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan dan/atau Penanganan Covid-19 dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk Percepatan Penanganan Covid-19.
Menyikapi beberapa regulasi/kebijakan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah pusat, PRAKARSA melihat bahwa masih ada celah yang perlu diperhatikan dalam penanganan penyebaran Covid-19 khususnya di tingkat daerah. Ditambah dengan kondisi Indonesia yang angka Universal Health Coverage (UHC) nya masih belum optimal. Berdasarkan penelitian UHC: Tracking Indonesia’s Progress yang dilakukan oleh PRAKARSA pada tahun 2019, indeks cakupan layanan UHC adalah 60 secara nasional. Terdapat kenaikan nilai indeks dari tracking UHC yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2017 dari 49 menjadi 60. Akan tetapi kondisi tersebut tidak mencerminkan bahwa ketimpangan antar wilayah urban dan rural tidak terjadi. Kaitannya dengan kondisi perkembangan kasus covid-19 di Indonesia yang sudah menyentuh angka kematian 8,9 persen di 32 provinsi. Terdapat beberapa tantangan penanganan covid-19 di daerah yang juga dipengaruhi oleh rendahnya indeks cakupan layanan UHC diantaranya:
- Tingginya kasus TBC dan rendahnya case detection rate berpotensi meningkatkan case fatality rate. Pada tahun 2018 terdapat 1.017.290 kasus prevalensi TBC. Terlebih, case detection rate di Indonesia masih rendah sebesar 51 persen. Sehingga penderita TBC ini memiliki potensi lebih besar untuk terjangkit virus covid-19.
- Tingginya kasus kematian, khususnya di DKI Jakarta mengindikasikan bahwa kapasitas layanan kesehatan masih terbatas.
- Ketimpangan infrastruktur dan distribusi tenaga kesehatan di daerah.
- Daerah-daerah di luar pulau Jawa tidak mempunyai perlengkapan memadai dalam penanganan covid-19 (masker, ventilator dan APD).
Disamping tantangan yang sudah disampaikan oleh peneliti PRAKARSA, terdapat beberapa tantangan lain yang juga diungkapkan oleh Dr. Hermawan Saputra yakni; laju peningkatan penjangkitan covid-19 berkaitan erat dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia sehingga penyebarannya sangat tinggi sekali. Ketimpangan angka cakupan layanan kesehatan yang terjadi antara wilayah Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat perlu dicermati juga. Faktanya angka kasus positif covid-19 lebih tinggi sebarannya di wilayah Indonesia bagian barat dibandingkan dengan Indonesia bagian timur. Adapun masalah terbesar yang dihadapi Indonesai saat ini adalah pemerintah daerah yang memiliki kekhawatiran lebih tinggi daripada pemerintah pusat. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di daerah masih sangat terbatas. Sebagai contoh DKI Jakarta saja yang memiliki tenaga dan fasilitas kesehatan paling memadai di Indonesia dengan indeks cakupan layanan kesehatan paling tinggi sudah mulai kewalahan menangani kasus covid-19 ini.
Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah pusat dan gugus tugas penanganan covid-19 ini adalah belum ada maping yang dibuat oleh gugus tugas mengenai RS rujukan. Penyebab dari tidak dibuatnya maping ini adalah pemerintah mengkhawatirkan akan terjadi penumpukan pasien di fasilitas layanan kesehatan. Terutama disebabkan oleh kondisi RS daerah yang 80 persen kualitasnya masih berada di kelas C. Saat ini 32 provinsi di Indonesia sudah terinveksi, Perpres harus segera ditindaklanjuti oleh pemerntah daerah. Aparatur negara harus melakukan pembatasan sosial agar tidak terjadi transmisi lebih lanjut di lapangan. Dalam mengatasi kondisi seperti ini, tidak bisa lagi mengandalkan dokter spesialis paru atau penyakit dalam, sebab jumlahnya di daerah sangat terbatas sekali. Harus segera dilakukan task setting bagi dokter umum dari dokter spesialis paru dan penyakit dalam, dalam kurun waktu singkat dan cepat supaya tenaga kesehatan yang dapat menangani pasien dengan positif covid-19 dapat terpenuhi.
Prof. Hasbullah Thabrany juga menyampaikan mengenai penguatan partisipasi dari semua elemen masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengendalikan penyebaran covid-19. Pemerintah pusat perlu mempertimbangkan juga mengenai kebutuhan finansial untuk menunjang penguatan peran masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam webinar ini Prof. Hasbullah juga menyampaikan bahwa dalam setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah pasti terdapat pro dan kontra. Termasuk kebijakan yang berkaitan dengan upaya penanganan pendemi covid-19. Secara teoritis kebijakan daerah memuat mengenai ketentuan dalam penanganan pendemi seperti covid-19 ini. Apabila ada seorang ahli yang mampu menangani covid-19 di sebuah wilayah dan wilayah tersebut memiliki kemampuan yang memadai maka pemda dipersilahkan untuk melokalisir kebijakan penanganan pendemi ini. Namun ketika kondisi tersebut tidak terjadi maka penanganan pendemi seperti ini harus diatasi bersama-sama dengan pemerintah pusat.
Berdasarkan beberapa kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat, ditemukan beberapa potensi solusi yang dapat dilakukan oleh elemen masyarakat dan pemerintah daerah antara lain; membatasi perpindahan dan jaga jarak minimal 2 meter. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat diharapkan untuk bisa mendisiplinkan dan mengatur warganya. Melakukan rapid-test minimal dua kali karena masa inkubasi virus 14 hari, disini tantangan kesanggupan pemda diuji. “Saya kira belum sanggup, maka dari itu perlu adanya peran dari pemerintah pusat, sebab kebutuhan anggaran juga penting untuk diperhatikan karena biaya rapid-test cukup mahal”, ujar Prof. Hasbullah. Solusi berikutnya adalah stop mobilitas penduduk (pemerintah daerah dapat melakukan hal ini untuk meningkatkan kesiapsiagaan mengenai penyebaran virus ini). Potensi solusi berikutnya adalah melakukan koordinasi antar daerah guna menangani pendemi ini secara mandiri.
Seharusnya dalam kondisi seperti ini semua orang harus dicurigai terjangkit covid-19, supaya semua orang dapat diperiksa untuk memastikan positif atau negatifnya. Rapid-test dilakukan sebagai upaya mitigasi kesiapsiagaan penyebaran covid-19. Pernyataan dari Dr. Hermawan Saputra ini juga sejalan dengan upaya pemerintah pusat dalam rangka penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dengan diterbitkannya kebijakan tersebut diharapkan pemerintah daerah bisa menurunkan kebijakan ini ke dalam peraturan gubernur, peraturan bupati, atau peraturan walikota, dll.
Menjadi menarik ketika melihat bagaimana pendemi ini mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tidak bisa bekerja di rumah dan harus memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sebenarnya pemerintah pusat sudah membuat kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi dan pengurangan tanggungan dari masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, banyak dari masyarakat kita yang masih bersikap sebagai risk taker dan tidak disiplin mentaati aturan pemerintah. Faktanya bantuan dari pemerintah pusat memang butuh waktu untuk bisa sampai ke tangan penerimanya, terutama para pekerja informal. Disinilah peran pemerintah daerah menjadi penting untuk mengutamakan kepentingan publik dengan mulai memberikan bantuan terlebih dahulu pada masyarakat mereka. Jangan berpikir bahwa ini hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja.
Penulis: Aqila Layyinah