Praktik Baik Pelatihan Vokasi di Indonesia: Studi Kasus Tiga Balai Latihan Kerja Pemerintah dan Swasta

Ketersediaan lapangan kerja dan tenaga kerja terampil merupakan faktor terpenting dalam mengurangi ketimpangan di Indonesia. Hadirnya revolusi industri 4.0 dipandang Pemerintah Indonesia sebagai peluang untuk meningkatkan perekonomian negara. Namun tenaga kerja terampil yang tersedia belum mencukupi kebutuhan pasar kerja yang ada. Karena itu, peran Balai Latihan Kerja (BLK) sangat strategis dalam memastikan tersedianya tenaga kerja berkualitas melalui pelatihan vokasi. Agenda utamanya adalah menciptakan tenaga kerja dengan keterampilan mumpuni yang mampu mengakses kerja layak sehingga dapat memperbaiki standar hidup yang lebih baik. Akselerasi keterampilan angkatan kerja harus sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Salah satu langkah konkret yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan peran dan mutu BLK yang tercermin dalam Roadmap Pendidikan dan Pelatihan Vokasi 2017-2025. Untuk mendukung hal tersebut, Perkumpulan Prakarsa berinisiatif melakukan penelitian mengenai praktik baik pelaksanaan pelatihan vokasi di Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Centre for Vocational and Extention Service Training (CEVEST) Bekasi, Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD) Kabupaten Bogor, dan Yayasan Teknik Samick Indonesia (YTSI) Cileungsi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus  berdasarkan studi dokumen dan teknik snowball. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi praktik baik dalam kerangka model kemitraan BLK yang melibatkan multipihak terutama sektor swasta di daerah dan untuk menganalisis bagaimana praktik-praktik baik yang ada dapat mendorong kerja layak untuk anak muda dan perempuan dalam rangka pencapaian SDGs. Manfaat penelitian ini untuk mendukung perluasan akses dan mutu pelatihan vokasi di Indonesia agar bisa direplikasi oleh pemerintah kabupaten/kota lainnya di Indonesia dan untuk bahan advokasi kebijakan.

Penggalian informasi atas praktik baik dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci dari Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, Pengelola BBPLK CEVEST Bekasi, BLKD Kabupaten Bogor, dan YTSI. Selain itu, melalui Focus Group Discussion (FGD), triangulasi informasi dilakukan dengan melibatkan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tangerang Selatan, Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang, Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta.  Total informan sebanyak 30 orang yang mewakili instansinya masing-masing.

Beberapa temuan atas praktik baik dari ke tiga BLK yang menjadi obyek penelitian ini, antara lain:

  1. Pengelolaan BBPLK CEVEST Bekasi yang berada di bawah Pemerintah Pusat (Kementerian Ketenagakerjaan) memiliki relasi dan kerja sama yang kuat dengan sektor swasta. Keunggulannya dibanding dengan BLK daerah antara lain pelatihan keterampilan yang tersertifikasi, siswa latih mendapatkan program pemagangan, siswa latih berpeluang disalurkan bekerja di perusahaan mitra dan mendapatkan keterampilan serta pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan industri atau pasar kerja. Ini dibuktikan dengan serapan siswa latih di BBPLK CEVEST Bekasi yang masuk ke pasar kerja mencapai 70 persen.
  2. Pada BLKD Kabupaten Bogor yang berada di bawah Pemerintah Daerah (Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor), praktik baik dapat dilihat dari: i) komitmen anggaran yang secara khusus  dialokasikan untuk penyelenggaraan BLK, yakni sebesar Rp3 miliar (30% dari total belanja langsung Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor) pada anggaran tahun 2019; ii) jumlah peserta latih BLKD Kabupaten Bogor cukup banyak, yakni 440 siswa latih di tahun 2018, meskipun data mengenai serapan siswa latih pada pasar kerja tidak tersedia; iii) BLKD Kabupaten Bogor memiliki 13 program pelatihan yang beragam antara lain otomotif, komputer, instalasi listrik, dan teknik mesin pendingin. Hal ini dikarenakan BLKD Kabupaten Bogor mendapatkan asistensi dari BBPLK CEVEST Bekasi dan dukungan dari perusahaan mitra sehingga siswa latih dapat mengikuti pelatihan tingkat lanjut.
  3. YTSI sebagai lembaga pelatihan vokasi yang didirikan dan dikelola oleh PT Samick yang bergerak dalam produksi alat musik memiliki praktik baik antara lain: i) inovasi pelatihan keterampilan yang dijalankan YTSI berorientasi untuk memenuhi kebutuhan internal PT Samick sekaligus untuk memenuhi kebutuhan industri lainnya; ii) PT Samick aktif melakukan komunikasi dan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain untuk memetakan kebutuhan tenaga kerja terampil yang dapat disediakan oleh YTSI; iii) YTSI memberikan fasilitas kepada siswa latih seperti asrama, makan, dan uang saku saat menjalani pelatihan. Pada saat pemagangan, PT Samick dan perusahaan mitra YTSI memberikan insentif sebesar Rp2,4 juta per bulan selama pemagangan; iv) PT Samick memiliki komitmen mengalokasikan 1 persen dari profit perusahaan dan mendapatkan dukungan pembiayaan dari perusahaan mitra untuk penyelenggaraan YTSI, dan; v) serapan siswa latih yang masuk pasar kerja mencapai 95 persen. 

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal:

  1. Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran yang memadai dan berkelanjutan untuk pembiayaan pelatihan vokasi. Pemerintah pusat sekurang-kurangnya mengalokasikan 2 persen untuk pelatihan vokasi dari total alokasi anggaran pendidikan nasional;
  2. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengembangkan skema pembiayaan alternatif untuk pelatihan vokasi yang bersumber dari kontribusi sektor swasta;
  3. Pihak swasta perlu mengalokasikan anggaran untuk pengembangan pelatihan vokasi dan memberikan kuota pekerjaan bagi siswa latih pelatihan vokasi;
  4. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mendorong partisipasi sektor swasta dalam pelatihan vokasi dan pengaturan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal bagi perusahaan yang  menyelenggarakan pelatihan vokasi;
  5. Pemerintah Pusat perlu memastikan keberlanjutan penyelenggaraan BLK Komunitas yang lebih  merata dan berkualitas;
  6. Pemerintah Pusat perlu menambah jumlah BBPLK sekurang-kurangnya satu BBPLK di setiap provinsi dengan fokus materi pelatihan sesuai dengan keunggulan masing-masing daerah. Hal ini penting karena BBPLK akan memberikan asistensi yang memadai kepada BLK Kabupaten/Kota dan BLK Komunitas;
  7. Pemerintah Daerah dan Pusat harus memberikan kepercayaan kepada BLK dan BBPLK untuk mengembangkan inovasi-inovasi (pembaruan modul, peremajaan peralatan pelatihan, dan bekerja sama dengan pihak swasta, dll.) dan menempatkannya sebagai garda depan peningkatan kualitas tenaga kerja terampil Indonesia.
Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.