Presidensi G20 dalam Membangun Perpajakan dan Keuangan Berkelanjutan

Tahun 2022 akan menjadi gelaran bersejarah dan momentum penting bagi Indonesia. Pasalnya pada bulan Oktober mendatang, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan G20 (Group of 20) sekaligus memegang memegang presidensi G20 selama setahun penuh, mulai dari 1 Desember 2021 hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022. Forum ini akan menghasilkan kebijakan-kebijakan perekonomian dunia yang berdampak langsung pada keberlangsungan pembangunan di tanah air. Serta sebagai presidensi G20, Indonesia memiliki keistimewaan untuk menentukan isu-isu yang akan dibahas dalam pertemuan G20.  

Tema presidensi tahun ini adalah “recover together recover stronger” dengan tiga isu prioritas utama yang memerlukan tindakan kolektif secara global, yakni mengenai arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.  

Diskusi dihadiri oleh narasumber Ah maftuchan sebagai C20 sherpa, Panji Tirta Nirwana Member of Working Group Taxation & Sustainable Finance, Fiona Armintasari Coordinator Working Group Taxation & Sustainable Finance, dan Dalyono Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal. 

Fiona menjelaskan bahwa WG Taxation & Sustainable Finance mendorong agar negara anggota G20 mengambil jalur pemulihan ekonomi berkelanjutan, diantaranya melalui penerapan prinsip re-distribusi yang adil dan keuangan berkelanjutan. “Kami ingin mendorong agar G20 dan negara-negara anggotanya mengadopsi agar jalur pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan juga perpajakan yang berkeadilan, nah dari sisi keuangan berkelanjutan kami percaya bahwa G20 dapat mendorong bagaimana aktor-aktor dalam sektor keuangan lebih memperhatikan dampak pembiayaannya pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Lalu juga kami mendorong agar G20 memunculkan inisiatif taksonomi hijau.” 

Dari isu perpajakan, Paji menyatakan bahwa dari sisi perpajakan, praktik profit shifting, illicit financial flows, peraturan perpajakan internasional yang belum inklusif, dan perkembangan ekonomi digital menjadikan masalah perpajakan internasional menjadi dasar pentingnya reformasi pajak. “khusus isu pajak yakni bagaimana G20 dapat mendorong peningkatkan penerimaan perpajakan dan pengendalian keuangan gelap (ilicit financial flow). Perpajakan merupakan instrument penting, namun masih ada masalah seperti ilicit financial flow. Kami juga mendorong reformasi perpajakan, menyelesaikan ilicit financial flows, proses pengembagan kebijakan bilateral, pajak digital, dan pajak lebih inklusif gender.” 

Ah Maftuchan menjelaskan bahwa saat ini 7 working grup yang ada di C20 sedang melakukan penyusunan isu prioritas dan expected outcome. Dalam isu perpajakan sendiri terdapat beberapa usulan yang menguat antara lain bagaimana G20 kembali mengambil kepemimpinan untuk reformasi sistem perpajakan global, membangun konsensus penerapan pajak digital, penuntasan mekanisme BEPS, dan mempertimbangkan kembali pembentukan badan perpajakan di bawah PBB yang lebih mengikat. 

“pertama yakni mengambil posisi kepemimpinan reformasi pajak digital. Salah satu yang kami kritik cukup keras adalah tax bracker 15% untuk pajak perusahaan. Menurut kami angka tersebut cukup rendah, dampaknya kita juga akan menurunkan tarif pajak hingga 20%. Akhirnya yang terjadi adalah pertarungan “obral” tarif pajak antar negara berpotensi terjadi. Nah dalam G20 kami berharap Indonesia berani mengusulkan peningkatan tarif pajak yang disepakati secara global minimum rate 20%. Kedua, kami berharap Indonesia berani memimpin kepentingan negara-negara berkembang dalam pajak digital. Ketiga, penuntasan mekanisme BEPS (Best erotion prifit shifting) sebagai upaya mengantisipasi IFF, transfer miss pricing, agresif tax planning yang dilakukan perusahan-perusahaan multinasional. Keempat, perlu mempertimbangkan kembali pembentukan badan perpajakan di bawah PBB yang lebih mengikat.” 

Pajak digital menjadi penting segera dilakukan, karena akan sangat bermanfaat untuk pembangunan pasca recovery dan dampak yang ditimbulkan dari Pandemi Covid-19.   

Ah Maftuchan juga menegaskan bahwa pendanaan untuk transisi energi, climate justice, dan pandemic juga harus menjadi pertimbangan pengaturan bagaimana praktik bisnis di jasa keuangan.  

Dalyono menjelaskan bagaimana caranya membiayai perubahan iklim yang begitu besar diantaranya memobilitasi sumber pembiayaan domestic. “ada agenda-agenda terkait pengumpulan sumber pembiayaan, kalau di domestic ada domestic resource mobiltation untuk mendorong pendapatan dari sisi fiscal.” 

Kalau dari sustainable finance ada tiga langkah yang perlu dilakukan dan saat ini sedang didiskusikan dalam kelompok kerja pembiayaan berkelanjutan antara lain mendorong munculnya instrumen-instrumen pembiayaan yang kredibel termasuk di dalamnya instansi keuangannya, instansi produk-produknya terjangkau dari pembiayaan, dan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong investasi pembiayaan berkelanjutan. 

Pada sisi lain, Indonesia saat ini juga sedang mengembangkan meksnisme transisi energi dengan melakukan dua mekanisme yakni mengurangi penggunaan sumber daya alam yang berpotensi meningkatkan emisi rumah kaca seperti batu bara, dan mengembangkan sumber-sumber energi baru. Pemerintah saat ini sedang mengusukan pembentukan kelompok pembiayaan, yang terdiri dari multilateral development bank, private sector, developing partner, dan philantropi untuk melakukan pembiayaan terkait perubahan iklim. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.