Ragam Modus Batu Arang Ilegal di Kalimantan Timur

Tambang batu bara ilegal mewabah. Aneka modus dilakukan. Dengan patgulipat, perizinan di tangan, untung pun digenggam.

Sebuah rumah sederhana yang belum rampung berdiri di antara hamparan lahan bekas galian tambang batu bara. Sekitar 20 meter dari bangunan bertipe 36 itu tampak lubang tambang menganga seluas 50 meter persegi yang digenangi air berwarna hijau.

Penduduk di Kampung Loka Bahu, Kecamatan Kunjang, Samarinda, Kalimantan Timur mengenal tempat tinggal tersebut sebagai bagian dari perumahan murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, selama dua tahun, ‘pengembang’ tak kunjung menyelesaikan proyeknya.

“Mereka hanya membangun satu rumah, setelah itu malah mengeruk batu bara,” kata Ketua RT 19, Sapriansyah ketika ditemui Katadata.co.id, Desember lalu. Pengembang sekaligus penambang bekerja sekitar dua tahun. Mereka menghentikan kegiatannya enam bulan lalu.

Hingga kini, Sapri tak mengetahui persis siapa pengembang perumahan yang menambang tersebut. “Persoalan izin saya tak paham karena baru menjabat Ketua RT,” ujarnya.

Selama ini, penduduk sekitar menganggap pengembang sedang dalam proses membangun perumahan. Sebab, biasanya ada pematangan atau land clearing,yakni proses meratakan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Rupanya, selain mematang, mereka mengeruk bahan galian berwarna hitam kelam itu. 


Penambangan batu bara ilegal dengan kedok sebagai pengembang perumahan di Desa Loka Bahu, Kalimantan Timur (19/1/2019) (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Penduduk sekitar tak menaruh curiga. Apalagi, “pengembang” cukup murah hati memberikan “uang saku” untuk para petugas RT dan RW, juga organisasi pemuda desa. “Kelompok pemuda mendapat jatah Rp 2 juta per bulan. Mereka juga merekrut penduduk sebagai pekerja,” kata salah seorang warga desa.  

Selain di kawasan Desa Loka Bahu, penambangan ilegal dengan modus membangun perumahan terlihat di tengah Kota Samarinda. Di kawasan Perumahan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara, misalnya, terlihat kolam bekas tambang.

Kepala Dinas Permukiman dan Penataan Ruang (PUPR) Dadang Airlangga mengatakan timnya sudah tiga kali menerima laporan mengenai pengembang perumahan yang diduga menambang secara ilegal. “Semua pelakunya pengembang perumahan komersial, bukan perumahan murah,” kata Dadang.

Menurut dia, dari laporan masyarakat yang masuk, pengembang menggunakan modus proses pematangan lahan. Pematangan memang dapat dilakukan setelah pengembang mengantongi berbagai izin pembangunan perumahan. Sebagai contoh, mereka harus mendapat lampu hijau dari Dinas Lingkungan Hidup.

Harapannya, dengan izin ini ada proses pengawasan agar tidak melenceng menjadi penambangan. Sebab, perizinan penambangan batu bara berbeda jalur, di antaranya memerlukan izin khusus, seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP). Karena itulah pematangan lahan berbeda dengan pengerukan batu bara. Lahan hasil pematangan biasanya dipindahkan ke tempat lain.


Dua anak kecil bermain di bekas lubang tambang batu bara di Desa Bakungan, Loa Janan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (17/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Hingga sekarang, Dinas PUPR Samarinda menerima tiga laporan diduga penambangan ilegal yang memanfaatkan modus ini. PUPR melemparkan laporan tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Kasus tersebut belum ada yang masuk ke ranah hukum,” kata Dadang.

Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan modus pematangan lahan kerap dilakukan namun minim penegakan dari aparat. Satu-satunya kasus penambangan ilegal dengan modus pematangan di Samarinda yang pernah sampai meja hijau yakni proyek pembangunan green house Universitas Mulawarman di Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong Seberang pada 2010.

Kasus itu terkuak dari hasil laporan Jatam kepada pihak aparat. Polisi sempat menyeret kontraktor proyek dan mantan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Mereka dianggap terlibat kerja sama berdalih kegiatan pematangan.

“Setelah kasus ini terbongkar, tak ada lagi pengungkapan dengan modus serupa. Padahal praktik di lapangan terus berjalan,” kata Rupang.

Pematangan lahan, kata dia, hanyalah salah satu modus penambangan tanpa izin yang marak di Bumi Etam. Beragam cara dilakukan penambang ilegal yakni lewat sewa lahan penduduk, izin lahan sawit, hingga bekerja sama dengan pemilik tambang resmi.  

Keuntungan yang Menggiurkan

Kandungan emas hitam di kawasan lahan di Samarinda, Kalimantan Timur, menarik minat para pengusaha, baik yang menjalankan bisnisnya secara resmi maupun ilegal. Hanafi, bukan nama sebenarnya, salah satu pengusaha musiman yang tidak sah untuk menambang.

Dia mengeruk sumber daya alam ini hanya di saat harga batu arang tersebut sedang tinggi. Ketika momen itu datang, Hanafi mencari lahan penduduk dengan luas minimal dua hektare. Masyarakat sekitar menyebut kegiatan tersebut sebagai penambangan tanggul atau koridor.

Biasanya, dia mengincar desa-desa di sekitar kawasan penambangan. Cara untuk menentukan lahan yang mengandung emas hitam cukup sederhana. “Bila dekat dengan kawasan tambang, ada yang cukup dicangkul sekali sudah kelihatan batu baranya,” kata Hanafi.

Jika menemukan lahan yang cocok, dia akan merayu pemilik lahan.“Agar dapat untung besar, saya harus mencari lahan yang batu baranya tak dalam,” kata dia. Akses ke lokasi menjadi pertimbangan selanjutnya.

Setelah mendapat lahan, Hanafi mencari pembeli, baik pedagang atau perusahaan pemilik izin resmi. Dia memprioritaskan trader yang bersedia menyediakan angkutan dari lokasi tambang ke stockpile atau area penampungan batu bara. Juga, mereka yang bersedia menanggung ongkos pengangkutan. Hanafi hanya menanggung biaya alat berat dan operatornya.


Dalam waktu tiga bulan, pria paruh baya itu dapat menambang 2.000 ton dengan harga jual ke perusahaan pada tahun lalu sekitar Rp 270 ribu per ton. Total jenderal, penghasilan kotornya sekitar Rp 540 juta.

Dari jumlah ini, Hanafi membayar sewa ke pemilik lahan Rp 3.500 per ton atau sekitar Rp 7 juta. Biaya lainnya berupa sewa eskavator dan honor buat operator alat berat. Keuntungan bersih Hanafi selama tiga bulan sekitar Rp 400 juta. “Untung bersihnya sekitar Rp 200 ribu per ton,” kata dia.

Penambang ilegal lainnya, Hasan, bukan nama sebenarnya, juga menggunakan cara yang hampir sama. Dia berkongsi dengan penduduk yang memiliki lahan bersebelahan dengan pertambangan legal.

Para penduduk mudah diajak kerja sama dengan bagi hasil ini. Tawarannya cukup menggiurkan karena hampir sama dengan harga lahan yang ditaksir perusahaan tambang resmi. “Mereka enggan menjual lahannya ke pemilik IUP, memilih untuk kerja sama bagi hasil,” kata Hasan.

Di luar cara itu, dia kerap menggandeng perusahaan pemilik IUP. Penambangan dilakukan dengan izin perusahaan. Namun eksekusinya di luar rencana kerja perusahaan yang diajukan setiap tahun ke Dinas ESDM setempat. Hasan cukup menggarap lahan perusahaan yang belum dijamah.

Hasan menjual hasil penambangan ilegal ke perusahaan pemilik IUP. Dalam hal ini, perusahaan pun diuntungkan karena tak perlu mengurus beragam izin dari pemerintah dan tak perlu membayar uang jaminan reklamasi.


Penambangan batu bara di Desa Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (17/1). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)(Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Adu Kuat Bodyguard

Hanafi dan Hasan menyadari kegiatan bisnis ilegalnya di bawah bayang-bayang bui bila tertangkap aparat. Untuk mengurangi risiko, mereka menyiapkan dana khusus bagi oknum yang dapat memberikan informasi apabila ada rencana razia.

Selain ancaman penegakan hukum, penambangan ilegal juga berpotensi mendapat protes masyarakat. Untuk menyiasati hal ini, Hasan memilih bekerja sama dengan ormas masyarakat.

Selain ormas, kelompok pemuda desa dapat diajak bekerja sama untuk mengamankan bisnis tersebut. Organisasi pemuda di Desa Loka Bahu, Samarinda, membiarkan aktivitas tambang ilegal di sekitar tempat tinggal mereka asalkan menerima setoran rutin.

Salah seorang pemuda mengatakan kelompoknya mengutip Rp 10 ribu untuk setiap kendaraan yang membawa batu bara melewati kampungnya. Uang itu ditarik dengan dalih agar masyarakat merasakan keuntungan dari aktivitas tambang.

“Biasanya, sehari kami mendapat Rp 2 hingga 3 juta. Kami membagi-bagikan untuk kebutuhan sehari-hari anggota,” kata pemuda tersebut. 


Truk pengangkut batu bara yang melewati Desa Loka Bahu, Kalimantan Timur harus membayar upeti. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Penambang yang menolak membayar setoran bakal dihalangi melewati jalan, bahkan para pemuda tak ragu menahan kendaraannya. Para pengusaha tambang ilegal pun memilih membayar setoran daripada merugi.

Penambang ilegal tak berani melawan kelompok pemuda pimpinannya. Jumlah anggota organisasi pemuda desa mencapai 250 orang dari kelurahan setempat. Sebagian besar merupakan remaja yang baru lulus sekolah dan tak memiliki pekerjaan. “Mereka pernah mengerahkan preman, tapi kalah karena jumlahnya lebih sedikit,” kata dia.

Dari dana setoran yang masuk, para pemuda tersebut menyisihkannya untuk membangun pos jaga dan memasang portal di pintu masuk menuju kampungnya. Pos jaga tersebut memiliki fasilitas wifi yang membuat para pemuda betah nongkrong saban hari.

Said Amrullah, Ketua Karang Taruna Bina Mulya di Desa Loka Bahu, mengakui menarik uang hingga terkumpul jutaan rupiah dari truk pengangkut batu bara yang melintas di desanya. Dia berdalih dana yang ditarik untuk perbaikan jalan yang rusak dan sebagai biaya ganti rugi dari debu yang ditimbulkan.

Tak hanya memungut upeti, Said mengklaim membantu penertiban tambang ilegal. Dia bersama kawan-kawannya pernah menyita alat berat petambang ilegal yang berada di desa mereka. “Kami pernah menahan truk tronton pengangkut alat berat hingga dua pekan. Truk dilepaskan setelah mereka mengurus izin,” kata Said.


Sekelompok pemuda kerap berkumpul di pos jaga Desa Loka Bahu, Kalimantan Timur. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Para Penadah Batu bara Ilegal

Tumbuh suburnya penambangan ilegal seiring mengalirnya permintaan. Para pengusaha yang memiliki izin resmi, baik pemegang IUP maupun para trader pemilik izin pengangkutan dan penjualan, secara diam-diam menadah batu bara ilegal.

Deden merupakan mantan pengusaha batu bara yang pernah membeli komoditas ilegal ini untuk melancarkan bisnisnya. Warga Bontang, Kaltim itu sempat memiliki kontrak penjualan emas hitam dengan sebuah perusahaan bubur kertas di Jawa.

Dalam kontrak, perusahaan Deden wajib memasok batu bara ke perusahaan bubur kertas dalam periode waktu tertentu. Apabila gagal memenuhi kewajibannya, perusahaanya dikenakan penalti. “Saya juga memberlakukan kontrak yang mirip ke perusahaan penambangan batubara,” kata dia seraya menambahkan bahwa pasokan batu bara berasal dari penambang resmi.

Pada suatu ketika, kata Dede, terjadi force majeur yang menyebabkan perusahaan penambang batu bara tak dapat memenuhi pasokan sesuai kontrak. Otomatis, perusahaan tersebut membayarkan ganti rugi akibat tak memenuhi kontrak.

Sebaliknya, Deden dapat saja membayar penalti ke perusahaan bubur kertas. “Dari segi bisnis, persoalannya tidak sesederhana itu,” kata Deden. Dia khawatir wan prestasi tersebut melenyapkan kepercayaan sehingga kehilangan klien. Dalam posisi ini, Deden memilih memenuhi pasokan dengan membeli dari penambang ilegal.


Kapal tongkang pengangkut batu bara melintasi Sungai Mahakam, di Samarinda, Kalimantan Timur (17/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Pengusaha batubara pemegang IUP di Kutai Kartanegara, Akmal Muzakir, bukan nama sebenarnya, juga memiliki pengalaman serupa. Dia terikat komitmen dengan pembeli untuk memenuhi pasokan secara berkesinambungan. “Daripada terkena penalti, kami mencari dari penambang ilegal,” kata Muzakir.

Rupang mengatakan praktik bisnis penjualan batu bara ilegal seperti ini terus menjamur karena lemahnya pengawasan. Setidaknya, Inspektur Tambang atau pegawai Kementerian ESDM di Kalimantan Timur tidak pernah membawa satu pun kasus pelanggaran tambang batu bara ke ranah pidana.

Petugas Inspektur Tambang Kalimantan Timur Denny Wibawa membela diri. Sebanyak 38 inspektur se-Kalimantan Timur tak dapat bergerak optimal karena persoalan dana. “Jumlah dana operasional tergantung skala prioritas pemda. Saat ini kami mendapat Rp 100 juta untuk kegiatan satu tahun. Itu tak cukup,” kata dia.

Rupang menyoroti tambang ilegal lantaran permintaannya tiada henti. “Bila tak ada pengusaha yang menampung batu bara ilegal, kegiatan pertambangan akan berhenti secara otomatis,” kata dia.

Pemerintah, Rupang melanjutkan, seharusnya memprirotaskan pengawasan pada titik pengiriman batu bara, baik lokal mau pun ekspor. Karena itu, rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperketat pengawasan perdagangan batu bara di dermaga dan pelabuhan dianggap sebagai langkah tepat. Tapi KPK diyakini tak berhasil apabila berkerja sendirian.

Karena itu, sinergi dengan instansi lain mesti dibangun. Rupang mendukung Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM M Hendrasto yang bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Bea Cukai (Kementerian Keuangan), dan Kementerian Perhubungan menyusun standar operasi untuk perbaikan pengawasan perdagangan batu bara. “Semua pihak harus mengawasi, bukan hanya kami,” kata Hendrasto.


Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.