Rantai Nilai Global Sektor Partanian dan Perikanan di ASEAN Belum Berkeadilan

The PRAKARSA dan Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) merilis hasil riset tentang rantai nilai global atau global value chain (GVC)

Jakarta – The PRAKARSA dan Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) merilis hasil riset tentang rantai nilai global atau global value chain (GVC) terhadap petani dan nelayan kecil di wilayah ASEAN yaitu Indonesia dengan komoditas sawit dan perikanan, Vietnam dengan komoditas kopi dan beras, serta Filipina dan Thailand dengan komoditas beras. Dari empat komoditas yang diteliti, secara umum memperlihatkan kondisi petani dan nelayan kecil di empat negara tersebut berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. 

Peneliti Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The PRAKARSA, Panji TN Putra menjelaskan, dari empat negara tersebut, Vietnam memiliki index backward dan forward linkage yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain di hampir seluruh komoditas. “Pertanian dan perikanan vietnam memiliki index yang lebih tinggi, nilai forward linkage Vietnam sebesar 2,82 yang berarti ketika terjadi peningkatan input dari komoditas pertanian dan perikanan maka diproyeksikan akan mampu meningkatkan perekonomian Vietnam sebesar 2,82 juta USD,” terangnya. 

Selanjutnya Panji menjelaskan, hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor utama dalam menggerakkan perekonomian Thailand dan Vietnam. Sehingga dari hasil GVC Participation Index, dari seluruh sektor di empat negara tersebut, Thailand dan Vietnam memiliki index partisipasi GVC yang lebih besar dibanding Indonesia dan Filipina. “Artinya produk pertanian dan perikanan Tailand dan Vietnam mampu masuk ke dalam rantai nilai global,” kata Panji. 

Sedangkan posisi Indonesia masih mendominasi sebagai negara produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia kemudian disusul Malaysia. Meski demikian, kondisi petani Sawit di Indonesia mesih mengalami berbagai masalah seperti kemiskinan multidimensi, pelanggaran ketenagakerjaan, kontrak kerja yang bermasalah dan minimnya akses kesehatan. 

“Selain itu ada persoalan lain yang mungkin juga menjadi temuan di sektor lainnya bahwa petani dan masyarakat kecil ini hanya berkontribusi di level bawah, dan secara nilai tidak mendapatkan keuntungan yang besar,” kata Panji. 

Sementara dalam aspek gender, Panji menjelaskan, para pekerja sawit perempuan berada dalam posisi yang hanya menjadi pekerja pembantu untuk para pekerja laki-laki. “Hal ini membuat posisi perempuan lemah jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki,” jelasnya. 

Lebih lanjut riset ini menyebutkan, Indonesia juga menjadi produsen sektor perikanan terbesar di kawasan ASEAN dengan produksi rata-rata tahunan mencapai 6,42 juta metrik ton pada 2019. “Jadi ini memang suplai yang cukup besar untuk kawasan ASEAN,” papar Eka Afrina Djamhari, Manajer penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA. 

Dari sisi rantai nilai, para nelayan mulai dari yang kecil, menengah dan besar memasok ikannya ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), melalui TPI inilah terjadi proses pelelangan ikan secara terbuka kepada pembeli atau pengepul yang selanjutnya disalurkan ke perusahaan pengolahan ikan dan barulah didistribusikan kepada konsumen baik yang bersekala besar seperti restoran maupun konsumen rumah tangga. Selain untuk konsumsi dalam negeri, hasil tangkapan juga di export ke beberapa negara salah satunya Tiongkok dengan nilai yang cukup besar. 

Eka menjelaskan, dari seluruh aktor yang ada di sektor perikanan, nelayan kecil merupakan aktor yang menerima nilai paling kecil dari rantai nilai yang ada. 

“Hal ini terjadi karena nelayan kecil umumnya memiliki keterbatasan modal, upah rendah dan alat tangkap yang masih tradisional sehingga hal ini mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka,” papar Eka.  

Bukan hanya terjadi pada nelayan kecil, nelayan menengah dan besar juga menemui hambatan tersendiri. “Nelayan menengah misalnya, yang memiliki kemampuan menangkap ikan samapai 30 ribu metrik ton ternyata tidak mampu berlayar terlalu lama dan memaksimalkan hasil tangkapannya karena tidak memiliki teknologi yang tinggi, biaya yang harus dikeluarkan untuk melaut yang cukup tinggi, tidak adanya mesin pendingin untuk menyimpan hasil tangkapan sampai mendarat dan siap untuk dijual, sedangkan untuk para nelayan besar, mereka memiliki hambatan berupa perizinan yang rumit dan juga masalah-masalah lain yang hampir sama dengan nelayan menengah,” ucap Eka. 

Permasalahan lain yang juga diungkap dalam penelitian ini adalah, pekerja kapal yang berlayar menggunakan kapal menengah maupun besar masih saja mendapatkan pelanggaran berupa tidak adanya jaminan keselamatan, jaminan atas kesehatan, upah rendah, dan tidak ada kontrak kerja. Sedangkan disisi lain justru para pemilik perusahaan pengolahan ikan merupakan aktor yang mendapatkan nilai paling tinggi dibandingkan aktor lainnya di sektor perikanan. “Karena apa yang sudah mereka produksi itu pasarnya jauh lebih luas,” kata Eka. 

Sedangkan dari sisi gender, kata Eka, para pekerja perempuan sektor perikanan berada dalam posisi yang jauh lebih rendah dan lemah. “Perempuan jauh lebih rentan dari pada laiki-laki, perempuan di sektor perikanan menempati pekerjaan yang sangat kecil upahnya dan jam kerja yang tinggi, bahkan terkadang mereka bisa bekerja sampai 17 jam dalam sehari dan tidak mendapatkan upah dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk ikan,” ucapnya. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.