Reformasi Tata Kelola Pajak, Ekonom: Revolusi Digital Harus Jadi Fokus Utama

The PRAKARSA, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kebijakan terkait dengan kesejahteraan masyarakat, menilai revolusi digital harus menjadi perhatian utama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Bisnis.com, JAKARTA – Tantangan perpajakan ke depan akan semakin komplek, baik secara internal maupun eksternal. Terlebih lagi, saat ini kondisi ekonomi mengalami perlambatan akibat pandemi dan perubahan bisnis.

Oleh karena itu, revolusi digital harus menjadi perhatian utama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA sekaligus Koordinator Forum Pajak Berkeadilan (FPB) Indonesia, menilai harus terus menyiapkan kelembagaan yang bertata-kelola baik dan membangun pegawai pajak yang berintegritas akan menjadi kunci bagi optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara, termasuk di sektor ekonomi digital.

“Reformasi tata kelola perpajakan dan peningkatan kapasitas-integritas pegawai pajak harus dijadikan prioritas. Guna memperkuat tata kelola dan kapasitas-integritas pegawai pajak, Kemenkeu perlu melibatkan peran serta organisasi masyarakat dalam pengawasan,” ujar Maftuchan, Kamis (10/3/2021).

Kebijakan anggaran dan pajak merupakan instrumen fiskal yang penting untuk membiayai pembangunan, memajukan kemakmuran dan mendistribusikan kembali sumber daya untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Ekonom The PRAKARSA Panji TN Putra mengatakan tax ratio Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini jauh dari potensi yang ada. Beberapa penyebab antara lain adalah maraknya praktik profit-shifting dan illicit financial flows oleh korporasi untuk melakukan pengelakan-penghindaran pajak.

“Hal ini terjadi karena lemahnya regulasi dan lemahnya kapasitas pegawai pajak untuk mengatasi praktik penghindaran-pengelakan pajak. Di sisi lain, ekstensifikasi basis pajak juga masih belum optimal, misalnya pemajakan kegiatan bisnis digital dan perluasan barang kena cukai,” tambah Panji.

Hasil kajian PRAKARSA tentang illicit financial flows (2019) terhadap 6 komoditas ekspor unggulan Indonesia, yakni batu bara, minyak sawit, tembaga, karet, kopi dan udang-udangan, menunjukkan bahwa potensi hilangnya pendapatan negara sangat besar.

Hal memperlihatkan bahwa otoritas pajak kurang optimal dalam penanganan praktik pengelakan-penghindaran pajak.

“Kurun 1989-2017, aliran keuangan gelap masuk [over invoicing] dari enam komoditas expor unggulan mencapai 101,49 miliar USD. Sedangkan aliran keuangan gelap keluar [under invoicing] mencapai US$40,58 miliar,” ujar Ekonom The PRAKARSA Herawati.

Berdasarkan aliran keuangan gelap keluar dan masuk, dia mengungkapkan kehilangan potensi penerimaan pajak Indonesia dalam kurun waktu tersebut mencapai US$11,1 miliar.

“Praktik under-reported juga menyebabkan potensi kehilangan pendapatan negara [royalti] mencapai US$2,3 miliar pada komoditas batu bara dan US$569 juta pada komoditas tembaga selama 2000-2017,” tambah Herawati.

Dengan demikian, PRAKARSA –  lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kebijakan terkait dengan kesejahteraan masyarakat – menegaskan bahwa sistem perpajakan di Indonesia seyogyanya menjadi alat untuk meredistribusikan keuntungan ekonomi yang dapat dinikmati seadil-adilnya oleh seluruh warga tanpa kecuali.

Selain itu, rentetan kasus penyelewengan pajak di tubuh otoritas pajak seharusnya menjadikan pemerintah agar bergegas untuk melakukan reformasi sistem perpajakan yang lebih akuntabel, transparan, adil dan partisipatif.

Sumber: Bisnis.com

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.