ResponsiBank Indonesia Menilai Kinerja Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Bank di Indonesia Perlu Diakselerasi

The PRAKARSA (Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan) – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2021 mencatat target iklim di tahun 2030 membutuhkan investasi sebesar USD 285 miliar, sedangkan anggaran pemerintah hanya mampu mencakup 34%, sehingga menyisakan kesenjangan anggaran yang mencapai USD 145 miliar. Berdasarkan laporan Climate Policy Initiative (CPI) 2023, sektor keuangan berkontribusi 15% dari kebutuhan investasi iklim, dengan lembaga keuangan publik dan swasta masing-masing mengalokasikan sekitar USD 3,5 miliar dan USD 3,4 miliar, yang hanya setara dengan 3% dari total investasi yang diperlukan.

Lembaga keuangan diharapkan dapat berperan sebagai katalis dalam mendorong pembangunan berkelanjutan dan mengatasi tantangan iklim dengan memberikan pembiayaan yang mendukung perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Apabila risiko iklim diabaikan dan adaptasi tidak dilakukan, lembaga keuangan akan menghadapi risiko kredit yang lebih tinggi, termasuk Risiko Fisik dan Risiko Transisi, yang dapat menyebabkan potensi aset terdampar.

Pada aspek kebijakan, Indonesia sebenarnya telah mengambil langkah dalam meregulasi keuangan berkelanjutan melalui serangkaian peraturan, termasuk POJK 51/2017 yang mengatur penerapan keuangan berkelanjutan untuk lembaga keuangan, emiten, dan perusahaan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah merilis Pedoman Teknis POJK 51 yang mendefinisikan 12 kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KUBL), serta POJK 60/2017 yang mengatur penerbitan dan persyaratan efek berwawasan lingkungan. Selain itu, Peta Jalan Tahap I (2015–2019) dan Tahap II (2021–2025) menunjukkan komitmen jangka panjang Indonesia terhadap keuangan berkelanjutan.

Koalisi ResponsiBank Indonesia, yang merupakan bagian dari jaringan Fair Finance International (FFI) dan Fair Finance Asia, kembali merilis hasil riset terbaru mengenai kebijakan pembiayaan berkelanjutan yang diterapkan oleh bank-bank di Indonesia. Berlangsung di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta, pada Rabu (22/1/2025).

Riset ini menilai 12 bank di antaranya BRI, Mandiri, BNI, Bank Permata, dan BSI untuk Bank Himbara. Sementara dari non Himbara diantaranya HSBC, DBS, CIMB Niaga, OCBC, BCA, Maybank, dan Bank Danamon. Menggunakan metodologi Fair Finance Green Index (FFGI), riset ini menilai tingkat kepatuhan bank terhadap standar keberlanjutan yang mencakup 15 tema diantaranya kehutanan, perubahan iklim, pembangkit listrik, alam, pertambangan, minyak dan gas, inklusi keuangan, perlindungan konsumen, hak asasi manusia, hak pekerja, kesetaraan gender, kesehatan, korupsi, transparansi dan akuntabilitas, dan perpajakan.

Dalam presentasi hasil riset, peneliti The PRAKARSA Ricko Nurmansyah mengungkap bahwa rata-rata skor kebijakan bank di Indonesia berada pada posisi yang beragam. “Beberapa tema mengalami kenaikan skor seperti pada tema kehutanan, perubahan iklim, alam, inklusi keuangan, perlindungan konsumen, hak asasi manusia, kesetaraan gender, korupsi. Tema yang tidak mengalami peningkatan skor di antaranya pembangkit listrik, kesehatan, dan perpajakan. Sementara beberapa tema lainnya justru mengalami penurunan skor seperti tema pertambangan, minyak dan gas, hak pekerja, serta tema transparansi dan akuntabilitas,” paparnya.

Dilihat dari kondisi tersebut hasil penilaian secara umum menempatkan HSBC, DBS, dan CIMB Niaga sebagai bank yang berada pada posisi teratas. “Selain itu juga terdapat tiga bank yang mengalami penurunan peringkat, yaitu BCA, BRI, dan Danamon. Sementara tujuh bank lainnya tidak mengalami perubahan posisi dibandingkan tahun sebelumnya,” jelas Ricko.

Lebih jauh Ricko menjelaskan meskipun rata-rata skor pada tema-tema tertentu mengalami penurunan, namun jika dilihat lebih dalam beberapa bank sebenarnya telah meningkatkan komitmennya seperti pada tema pertambangan. Beberapa bank pada tema pertambangan termasuk Maybank, HSBC, CIMB Niaga, DBS, dan OCBC, mengalami peningkatan skor karena telah menerapkan kebijakan untuk tidak membiayai perusahaan yang terlibat dalam pengembangan tambang batu bara termal baru.

“Maybank Indonesia misalnya juga telah memasukkan penambangan asbestos dalam daftar pengecualian, menegaskan komitmennya terhadap praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tutur Ricko.

Selain itu, Maybank, HSBC, dan CIMB Niaga menolak untuk membiayai pertambangan yang menggunakan metode Mountain Top Removal (MTR). Hanya CIMB Niaga, DBS, dan HSBC yang mengatur klien mereka untuk memitigasi risiko kecelakaan kerja melalui teknik terbaik dan rencana kerja yang terukur.

“HSBC dan DBS juga berkomitmen untuk mendorong klien dalam mengurangi limbah ekstraktif serta mengelola dan memprosesnya secara bertanggung jawab, mencerminkan dedikasi mereka terhadap keberlanjutan,” tambah Ricko.

Pada sesi akhir, Ricko memaparkan beberapa rekomendasi yang telah disusun berdasarkan hasil riset tersebut diantaranya bank diharapkan dapat menetapkan kebijakan pembiayaan yang mendukung transisi energi berkeadilan dan ekonomi sirkular, serta menetapkan target dan metrik terukur untuk penurunan emisi.

“Perlu juga adanya kebijakan yang lebih ketat pada sektor usaha berisiko tinggi dan mekanisme operasional yang sistematis untuk mengintegrasikan perspektif gender dan aspek sosial dalam proses kredit dan investasi,” paparnya.

Ricko juga menekankan pentingnya partisipasi bermakna dari masyarakat lokal, adat, organisasi masyarakat sipil, industri, dan organisasi internasional dalam pengembangan kebijakan serta program pelatihan dan edukasi untuk sektor perbankan mengenai prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan.

“Selain itu perlu menetapkan implementasi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan (TKBI) secara mandatory untuk mempercepat mobilisasi pembiayaan yang mendukung penanganan krisis iklim. Klasifikasi sektor usaha ‘merah’ yang tidak mendukung ekonomi hijau juga perlu diperkenalkan untuk memberikan informasi awal/ peringatan awal sektor-sektor yang berisiko pada aspek lingkungan dan sosial,” jelasnya.

Di sisi lain, pendekatan berbasis sains dalam penyusunan taksonomi harus dijadikan prioritas, disertai dengan mekanisme stick and carrot bagi bank yang berkomitmen pada pembiayaan berkelanjutan dan inklusi keuangan. Terakhir, penting untuk membuat panduan yang memastikan lembaga keuangan menerapkan mekanisme audit independen, guna memastikan bahwa produk dan proyek yang dibiayai mematuhi kriteria keberlanjutan yang ditetapkan secara ketat.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.