Stop Politik Transaksional, Saatnya Mengakhiri Sistem-praktik Klientelisme!

Presiden Joko Widodo mengecek penyaluran bantuan pangan cadangan beras pemerintah (CBP) saat melakukan kunjungan kerja ke Lapangan Sepak Bola Klumpit Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (22/1/2024).(Dok. Sekretariat Presiden)

Jakarta, The PRAKARSA – Baru-baru ini bantuan sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi sorotan dan menuai sejumlah kritik. Pengamat kebijakan publik menyatakan bahwa alasan pemberian bantuan jelang Pilpres sangat kental dengan kepentingan politik. 

Harga beras juga dijadikan salah satu alasan yang dilebih-lebihkan, mengingat memang ada kenaikan di awal tahun 2024. Pengamat kebijakan publik Ah Maftuchan, menjelaskan alih-alih memberikan bansos, operasi pasar dinilai lebih tepat untuk stabilisasi harga.

“Memang ada kenaikan harga pangan (beras) hampir 15% pada awal tahun 2024, namun mengaitkan kenaikan harga beras dengan kerawanan pangan merupakan isu yang terlalu dilebih-lebihkan. Pemerintah dapat melakukan operasi pasar untuk stabilisasi harga pangan pokok (beras) dan memperkuat diversifikasi pangan, alih-alih menggelontorkan bantuan sosial berupa barang kebutuhan pokok: beras, minyak, gula dll,” ujar Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Kamis (1/2/2024). 

Lebih lanjut, Maftuchan bilang, bansos rawan untuk dikorupsi dan pemanfaatannya tidak optimal karena kualitas yang rendah. Bukan hanya itu, pemberian bansos dalam bentuk tunai akan lebih tepat karena dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing-masing. 

“Bantuan sosial berupa barang sudah terbukti rawan korupsi dan rawan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh warga penerima bansos karena kualitas barangnya jelek. Pemerintah dapat mengalihkan bantuan sosial dalam bentuk barang menjadi bantuan sosial tunai (cash-transfer) karena akan lebih tepat sasaran dan akan memberikan kemerdekaan warga dalam konsumsi sekaligus memberikan efek tambahan bagi bergeraknya ekonomi di akar rumput”, tutur Maftuchan. 

Maftuchan juga menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkesan menggunakan bansos barang (beras dan makanan lainnya) untuk mendapatkan simpati rakyat dan mendapatkan kompensasi dari rakyat. Praktik penyaluran bansos oleh presiden secara langsung di berbagai daerah telah menegaskan bahwa Presiden Jokowi sedang mempraktikkan politik “klientelisme” yakni sistem-praktik politik berdasar relasi pertukaran/transaksional. Sebagai penguasa, Presiden Jokowi memberikan bansos secara langsung ke rakyat dengan harapan rakyat memberikan kompensasi berupa dukungan politik terhadap agenda politik elektoralnya. Seperti yang telah gamblang kita ketahui, Presiden Jokowi mengkampanyekan pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. 

Hal ini semakin menggerus praktik demokrasi di Indonesia, di mana seharusnya pemerintah justru menjamin pemenuhan hak-hak dasar masyarakat diluar kepentingan politik. 

“Sistem-praktik “klientelisme” ini merupakan praktik buruk dalam politik, ini mengancam demokrasi substantif sekaligus mengancam pemenuhan hak-hak dasar warga. Praktik politik yang baik adalah pemerintah menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga tanpa memandang aspirasi politiknya. Hak-hak dasar warga harus dipenuhi oleh pemerintah dan jangan dipolitisasi,” imbuh Maftuchan. 

Namun demikian, agar tuduhan politisasi bansos berakhir maka Presiden Jokowi perlu menghentikan kegiatan bagi-bagi sembako oleh dirinya sendiri. Presiden Jokowi perlu mengaktifkan kembali Kementerian Sosial, kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah Daerah serta Pemerintah Desa untuk menjalankan tugas-pokok dan fungsinya dalam hal pengadaan barangnya dan pelaksanaan penyaluran bantuan sosialnya. 

“Jika bansos barang terus menerus digelontorkan dan menghabiskan anggaran ratusan triliun, maka akan berpotensi terjadi inefisiensi pengelolaan APBN karena akan menimbulkan kerawanan praktik koruptif pada tahap pengadaan barangnya dan pada tahap penyalurannya,” ujarnya. 

Terkait dengan bansos yang digulirkan oleh pemerintah, yakni dalam bantuk bahan pangan, Maftuchan meneyebut bansos akan lebih tepat disalurkan dalam bentuk tunai karena dapat lebih tepat sasaran.

“Bansos dalam bentuk uang tunai (cash-transfer) dapat dipilih sebagai langkah untuk memperkuat daya tahan warga miskin (poor) dan warga hampir miskin (near-poor) sekaligus memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk memilih bahan pokok konsumsinya,” tutup Maftuchan.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.