
Bangkok, The PRAKARSA – Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan The PRAKARSA bersama organisasi masyarakat sipil (OMS) lain di Asia yang terdiri dari LDC Watch, SAAPE, Sal Forest, Indonesia Tax Justice Forum, dan Oxfam menggelar Expert Workshop bertajuk “Challenges and Opportunities for Strengthening CSO Advocacy: The Impact of Global Tax Incentives and Trade Systems on Asia’s Palm Oil, Tea Plantation and Fisheries Sectors to Strengthen Domestic Value Addition in Global Value Chains”, pada Rabu (12/3/2025). Acara ini bertujuan membahas tantangan dan peluang dalam memperkuat advokasi OMS terkait dampak sistem pajak dan perdagangan global di sektor kelapa sawit, perkebunan teh, dan perikanan di Asia.
Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, menjelaskan bahwa Asia, dengan ekonomi yang beragam dari Asia Tenggara hingga Asia Selatan, memainkan peran penting dalam perdagangan global. Komoditas seperti kelapa sawit, teh, dan perikanan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan penghidupan jutaan orang. “Namun, sistem insentif pajak dan perdagangan global yang berlaku sering kali merugikan pembangunan yang berkelanjutan dan adil di sektor-sektor ini,” ujarnya.
Menurut Maftuchan, meskipun Global Value Chains (GVCs) menawarkan janji pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, namun manfaatnya justru lebih banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional besar. “Petani kecil, penanam teh, dan nelayan di Asia sering kali menghadapi hambatan sistemik seperti terbatasnya akses terhadap sumber daya, bahan, atau alat yang berkualitas tinggi, harga yang adil, dan layanan keuangan. Contohnya, di Indonesia, petani kelapa sawit sering kesulitan mendapatkan pupuk dan harga jual yang adil. Belum lagi, sektor perikanan yang mengalami penurunan partisipasi secara drastis dalam rantai pasok global hingga 75% dari tahun 1995 sampai 2018. Ini menunjukkan bahwa produsen skala kecil semakin terpinggirkan,” tambahnya.
Maftuchan juga menyoroti tantangan kebijakan di Asia, terutama terkait persaingan pajak dan kendala fiskal. “Salah satu tantangan utama adalah terjadinya ’race to the bottom’ dalam kebijakan pajak, di mana negara-negara Asia bersaing menarik investasi asing dengan menurunkan tarif pajak korporasi dan memberikan insentif berlebihan. Hal ini justru telah mengikis kapasitas fiskal, mengurangi sumber daya untuk pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial, dan dukungan bagi produsen kecil,” jelasnya.
Maftuchan menekankan bahwa kebijakan perdagangan di Asia sering kali memperkuat ketidakadilan sehingga membuat petani kecil dan nelayan semakin terpinggirkan. “Seperti persyaratan sertifikasi keberlanjutan yang ketat di sektor perikanan, mekanisme penetapan harga yang tidak transparan dalam perdagangan kelapa sawit dan teh, serta membatasi akses pasar dan mengurangi daya tawar petani kecil dan nelayan,” ujarnya.
Sanya Smith Third World Network memberikan pandangan tentang bagaimana aturan perdagangan global, seperti liberalisasi tarif, mempengaruhi bisnis kecil dalam rantai pasokan dan kegiatan perdagangan. Dia juga menjelaskan bagaimana aturan ini berdampak pada sumber daya domestik dan upaya untuk membangun produksi bernilai tambah. Diskusi juga menyentuh dampak kebijakan perdagangan pemerintahan Trump terhadap negara berkembang.



Selain itu, Hadi Rahmat Purnama, Direktur Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), yang juga menjadi pembicara dalam kegiatan ini menyebutkan bahwa adanya Rules of Origin (ROO) yang ketat telah merugikan negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang, yang pada akhirnya mempersulit negara-negara tersebut untuk mendapatkan manfaat dari perjanjian perdagangan global.
“Rules of Origin (ROO) yang ketat telah membatasi akses pasar, meningkatkan biaya kepatuhan, membatasi partisipasi rantai pasokan regional, memperkuat ketergantungan perdagangan, dan menghambat industrialisasi,” tutur Hadi
Lebih lanjut, Herni Ramdlaningrum, Manajer Program The PRAKARSA, menjelaskan bahwa Workshop ini bertujuan untuk mendiskusikan tantangan yang dihadapi petani kecil dan nelayan dalam rantai pasok global, khususnya di sektor kelapa sawit dan perikanan di Asia. “Selain itu, kami juga ingin menganalisis dampak sistem ekonomi global terhadap negara-negara berkembang di Asia, dengan fokus pada penambahan nilai domestik untuk diversifikasi ekonomi,” paparnya.
Herni juga menjelaskan agenda workshop kali ini mencakup diskusi mendalam tentang tantangan kebijakan pajak dan perdagangan, serta dampaknya terhadap sektor kelapa sawit, teh, dan perikanan. “Kami juga akan membahas bagaimana memperkuat strategi advokasi dan kebijakan melalui pertukaran pengalaman dan pelajaran di antara OMS dan ahli. Selain itu, workshop ini bertujuan untuk mendorong kolaborasi untuk transformasi kebijakan sistemik dengan membangun jaringan yang lebih kuat di antara ahli pajak dan perdagangan, OMS, dan pemangku kepentingan regional,” tambahnya.
Herni berharap diskusi ini dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti untuk mempromosikan kebijakan perdagangan dan pajak yang lebih adil dan berkelanjutan di kawasan Asia. Hasil dari workshop ini juga akan menjadi dasar rekomendasi yang akan disampaikan dalam momentum Asia Pacific Tax Forum 2025 di Indonesia mendatang.
Hadir sebagai peserta dalam workshop ini adalah perwakilan dari berbagai lembaga termasuk The PRAKARSA, SAAPE, Sal Forest, Oxfam Asia, Oxfam di Indonesia, LCD Watch, Third World Network, Focus on the Global South, Sahita Institute, PWYP Indonesia, Lokataru dan sejumlah organisasi lainnya dari Malaysia, Thailand, dan Indonesia yang memiliki perhatian dalam advokasi perpajakan.
Workshop ini diharapkan dapat menjadi langkah penting menuju pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan di Asia. “Kami berharap hasil dari workshop ini dapat menjadi dasar bagi advokasi kebijakan yang lebih kuat dan kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan,” tutup Herni.