Pengembangan bisnis ditengah krisis iklim yang terjadi harus sejalan dengan prinsip tatakelola keuangan berkelanjutan. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam seminar bertajuk “Tatakelola Keuangan Berkelanjutan untuk Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan yang Berkeadilan” yang digelar oleh koalisi ResponsiBank Indonesia bersama Social Research Centre (SOREC) Universitas Gajah Mada dan TuK Indonesia. Bertempat di University Club Hotel, UGM, Yogyakarta pada Senin (10/10/2022).
Yulius, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM pada kesempatan ini menyampaikan, Indonesia memiliki porsi UMKM dengan jumlah besar yaitu sekitar 64 juta atau 99,9 persen dari total pelaku usaha nasional yang menjadi krusial perannya dalam mengakselerasi pembangunan tatakelola keuangan yang berkelanjutan.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan prinsip keuangan berkelanjutan diantaranya adalah masih terbatasnya tingkat pemahaman dan partisipasi lembaga pembiayaan dalam pelaksanaan usaha berkelanjutan karena dianggap menimbulkan biaya tambahan. “Orientasi usha bagi pelaku UMKM masih mengarah pada keuntungan jangka pendek, perlu literasi bagi para pelaku UMKM terkait bisnis yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan,” ucap Yulius.
Yulius juga menambahkan, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia membutuhkan investasi sektor berkelanjutan sebesar 67 triliun. Hal ini menjadi program besar dan membutuhkan langkah-langkah yang tertata dengan baik dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif The PRAKARSA sekaligus Koordinator ResponsiBank Indonesia Ah Maftuchan pada kesempatan ini menyampaikan, Indonesia harus terus memperkuat komitmen untuk melaksanakan tatakelola keuangan berkelanjutan. “Kita tahu bahwa climate crisis sedang kita alami dan kita perlu memperkuat komitmen kita untuk menjalankan bisnis yang lebih berkelanjutan,” kata Maftuchan.
Lebih lanjut ia menyampaikan, masih ada pelaku industri yang masih enggan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan karena dianggap belum bisa menghasilkan secara bisnis.
Namun, pada kesempatan ini Maftuchan menegaskan bahwa pendekatan keuangan berkelanjutan dalam kegiatan bisnis tetap bisa menghasilkan keuntungan. “Selain menghasilkan secara ekonomi juga bisa berkontribusi bagi peningkatan kondisi lingkungan yang lebih berkelanjutan dan kondisi sosial yang lebih baik,” ungkapnya.
Program manajer The PRAKARSA, Herni Ramdlaningrum menambhakan, penerapan tatakelola keuangan berkelanjutan juga harus mencerminkan prinsip inklusifitas. Artinya, implementasi sistem keuangan berkelanjutan perlu melibatkan kelompok rentan dan marginal termasuk perempuan dan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kalau misalnya prinsip keuangan berkelanjutan itu selalu di asosiasikan pada bisnis besar, kenapa kita tidak coba membangun paradigma baru bahwa keuangan berkelanjutan atau keuangan inklusif merupakan dukungan industri keuangan kepada ekonomi yang memiliki nilai-nilai lingkungan. Hal inilah yang harus kita gulirkan dan dorong terus menerus,” tutur Herni.
Mengingat sebagian besar pelaku UMKM perempuan dan dampaknya yang signifikan pada kemajuan ekonomi keluarga, akses perempuan untuk keuangan perlu ditingkatkan. Lembaga perbankan sudah seharusnya memiliki kebijakan pemberian kredit yang inklusif gender dan tidak mendiskrimasi nasabah apapun gendernya.
“Tidak ada keuangan berkelanjutan tanpa inklusi keuangan dan tidak ada inklusi keuangan tanpa pelibatan perempuan di dalamnya.” pungkas Herni.