The PRAKARSA Merilis Temuan Awal Capaian Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia

Jakarta, The PRAKARSA – Dalam rangka memperingati Hari Universal Health Coverage Internasional pada 12 Desember, The PRAKARSA merilis temuan awal hasil riset mengenai capaian Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Peluncuran temuan awal penelitian ini dilakukan pada agenda diskusi publik secara daring dengan tajuk “Capaian, Tantangan, dan Peluang Implementasi UHC dalam Sistem Kesehatan Nasional”. Agenda ini dihadiri oleh Ali Ghufron Mukti (Direktur Utama BPJS Kesehatan); Hasbullah Thabrany (Pakar kesehatan masyarakat), Gamal Albinsaid (Dokter dan Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera); Intan Novia (Kepala Tim Kerja Analisis Belanja Kesehatan, Pusat Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia); dan Feby Oldfisra (National Professional Officer of Health Financing, World Health Organization (WHO) Indonesia).

Riset capaian UHC di Indonesia ini adalah kelanjutan dari riset serupa yang dilakukan The PRAKARSA pada 2020 lalu. Riset ini berfokus untuk menganalisis tiga hal: capaian nasional indeks UHC, pengeluaran Out-of-Pocket (OOP), dan proteksi finansial dari pemiskinan akibat pengeluaran kesehatan katastropik. Peneliti The PRAKARSA, Bintang Aulia Lutfi, dalam kesempatan ini memaparkan bahwa sekalipun skor indeks UHC nasional meningkat 3 (tiga) poin dari 60 (2020) menjadi 63, capaian ini masih di bawah skor WHO di angka 67. “Peningkatan skor UHC disebabkan oleh membaiknya capaian di beberapa dimensi, di antaranya Penyakit Menular (skor 75), dan Penyakit Tidak Menular (skor 68). Namun penurunan drastis terjadi di dimensi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya pada indikator imunisasi”. Selain itu, Bintang juga menyoroti permasalahan kesenjangan layanan dan proteksi finansial yang belum memadai, khususnya bagi Rumah Tangga di kuintil pengeluaran terbawah. “Sekitar 12,85 juta penduduk Indonesia mengalami pengeluaran kesehatan katastropik pada ambang 10% dan jutaan orang masih berisiko jatuh miskin akibat biaya out-of-pocket (OOP) untuk kesehatan, dengan insiden tertinggi terjadi di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan beberapa provinsi di Sumatera”, ujar Bintang.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, dalam sambutannya, menyatakan bahwa sekalipun coverage Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah mencapai 98% dari populasi masyarakat Indonesia, sistem kesehatan harus dilihat tidak hanya dari demand-side, tetapi juga supply-side. Hal ini melingkupi akses, infrastruktur, dan layanan-layanan lainnya. Oleh karenanya, diperlukan kongruensi antar-pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah Pusat, daerah, dan legislatif. Selain itu, beliau juga menekankan bahwa pendekatan sistem kesehatan harus berubah, “tidak hanya berfokus pada kuratif, tetapi juga promotif dan preventif”.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Victoria Fanggidae, dalam sambutannya, menekankan perlunya penanganan kesehatan berbasis kebutuhan dan menghapuskan praktik penanganan yang diskriminatif terhadap latar belakang ekonomi. Victoria juga menekankan bahwa tidak ada solusi dan pemangku kebijakan tunggal untuk memperbaiki sistem kesehatan, dan yang dibutuhkan adalah kolaborasi, komunikasi, dan visi jangka panjang apabila Indonesia ingin menjadi negara maju dilihat dari kualitas layanan kesehatan.

Kepala Tim Kerja Analisis Belanja Kesehatan, Pusat Pembiayaan Kesehatan Kemenkes RI, Intan Novia Fatma Nanda, memberikan apresiasi atas riset dan temuan yang disampaikan oleh PRAKARSA. Kajian ini tidak hanya menelaah aspek kepesertaan tetapi juga kualitas layanan serta perlindungan finansial. Beliau menyampaikan bahwa temuan PRAKARSA sejalan dengan laporan WHO- World Bank yang menunjukkan bahwa Indonesia bergerak mengikuti tren global menuju Universal Health Coverage. Beliau menyarankan, “Analisis dalam riset ini akan menjadi lebih komprehensif apabila juga mengaitkan hasil National Health Account, karena integrasi perspektif pembiayaan melalui NHA dapat membantu menjelaskan keterkaitan antara pola belanja kesehatan, prioritas pendanaan, dan capaian layanan di lapangan.” Pakar kesehatan masyarakat, yang juga salah satu arsitek sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Hasbullah Thabrany, mengapresiasi hasil riset temuan awal yang dilakukan oleh PRAKARSA. Namun, Hasbullah menyoroti metodologi yang digunakan dalam mengukur UHC versi PRAKARSA, terutama terkait data pelengkap yang digunakan, dan pada penjelasan mengenai pengeluaran katastropik dan Out-of-Pocket. “memang hasil dari pengukuran UHC oleh PRAKARSA mirip dengan WHO walaupun sedikit lebih rendah namun bukan pada tingkat akurasi dalam mengukur melainkan pada pola pemetaan daerah mana yang masih kurang dan mana yang lebih sehingga masing-masing daerah dapat mengejar ketertinggalannya”. Hasbullah juga menambahkan “akan lebih baik jika out of pocket dilakukan melalui survei khusus oleh pemerintah sehingga akurasi angkanya menjadi lebih representatif”. Hasbullah juga mendorong dibentuknya Sistem Informasi Pendanaan Kesehatan (SIPK) sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk mengetahui data faktual mengenai pengeluaran kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Gamal Albinsaid, turut mengapresiasi riset yang dilakukan oleh The PRAKARSA dan berharap bahwa riset tersebut dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan. Gamal juga menyoroti adanya permasalahan struktural dalam sistem kesehatan Indonesia, “bahwa meskipun cakupan JKN sudah mencapai 98 persen dari populasi, masih banyak peserta JKN yang non-aktif, dan infrastruktur di daerah-daerah terpencil juga masih sangat tertinggal dan tidak memadai”.

Gamal menjelaskan bahwa “masyarakat di luar Jawa, jika saya sampaikan secara langsung pada praktiknya memberikan subsidi kepada masyarakat Jawa karena mereka membayar iuran BPJS yang sama namun memperoleh fasilitas kesehatan yang timpang” dan menegaskan bahwa “hal ini perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan dalam percepatan perbaikan fasilitan kesehatan di daerah tertinggal”. Gamal juga merekomendasikan agar tercipta kolaborasi berbasis bukti multipihak untuk menyelesaikan hambatan-hambatan struktural baik untuk cakupan JKN maupun capaian UHC secara keseluruhan. Terakhir, National Professional Officer of Health Financing, World Health Organization (WHO) Indonesia, Feby Oldfisra, juga mengapresiasi hasil riset yang dirilis oleh The PRAKARSA. Feby, mewakili WHO, menyebutkan bahwa pengukuran capaian UHC di Indonesia sudah menunjukan perbaikan untuk kedua indikator UHC yaitu cakupan layanan dan kesulitan finansial saat mengakses layanan kesehatan. Namun, posisi Indonesia masih di belakang peer countries seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia.. Selain itu, Feby juga memaparkan persentase pengeluaran Out-of-Pocket (OOP) di Indonesia yang, sekalipun angkanya membaik menjadi 26,6 persen dengan metode terbaru yang dikeluarkan WHO, tren perbaikannya melandai dari tahun ke tahun. Dengan metode terbaru juga diketahui bahwa kelompok pengeluaran terendah atau paling miskin adalah yang paling berat mengalami kesulitan finansial dalam mengakses layanan kesehatan.

Berdasarkan temuan awal riset dan input dari berbagai pihak, The PRAKARSA merekomendasikan beberapa opsi kebijakan, termasuk di antaranya penetapan layanan preventif sebagai kewajiban APBD dan APBN, pengembangan Health Social Assistance untuk mengurangi beban non-medis Rumah Tangga, pembentukan Dana Kesehatan Daerah untuk kelompok near-poor, penetapan indeks UHC sebagai indikator kinerja wajib dalam evaluasi pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) kesehatan, termasuk pada Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK). The PRAKARSA akan segera mempublikasikan hasil riset lengkap dalam waktu dekat.