Jakarta, The PRAKARSA – Produksi dan ekspor produk perikanan di negara-negara ASEAN telah meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir, berkontribusi sebesar 25% terhadap produksi ikan global. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari empat negara di ASEAN yang masuk dalam 10 besar negara penghasil ikan terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 5,40 juta metrik ton (MT) pada tahun 2012.
Kontribusi tersebut menunjukkan peran penting ASEAN dalam perikanan global dan pasar makanan laut. Meski demikian, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesejahteraan pekerja masih menjadi tantangan. Kurangnya kontrol atas praktik bisnis menyebabkan perlakuan eksploitatif terhadap pekerja.
“Pemilik kapal dan industri yang hanya mengejar keuntungan telah menyebabkan luasnya praktik kerja paksa, perdagangan manusia, dan perbudakan dalam rantai pasok perikanan,” papar Samira Hanim, Peneliti The PRAKARSA, pada peluncuran riset terbarunya ‘Kebijakan Insentif dan HAM di Rantai Pasok Perikanan ASEAN’ pada Jumat (15/3/2024), di Jakarta.
Samira dalam paparannya juga menyampaikan bahwa industri sektor perikanan merupakan salah satu industri yang berisiko tinggi melakukan perbudakan modern. “Kasus pelanggaran pada awak buah kapal (ABK) paling banyak ditemukan di Indonesia, Vietnam dan Thailand, pekerja sering kali diharuskan membayar mahal biaya perekrutan yang menyebabkan jeratan hutang,” tambah Samira.
Di tiga negara tersebut PRAKARSA menemukan, para ABK yang berada di atas kapal selama berbulan-bulan harus menghadapi berbagai pelanggaran HAM. ABK kerap tidak mendapatkan makan secara layak, tidak tersedianya air bersih yang cukup, jam kerja yang berlebih dan tempat istirahat yang tidak layak, terjadinya pelecehan fisik dan verbal, lingkungan kerja dengan resiko tinggi namun tidak dilengkapi dengan standar keselamatan kerja yang memadai sehingga tak jarang mengakibatkan kematian.
“Tidak hanya di level penangkapan, pekerja di level pemrosesan ikan juga masih rentan mengalami pelanggaran HAM seperti kerja paksa, jam kerja yang panjang, kondisi kerja tidak layak, upah yang rendah, dan diskriminasi gender,” ungkap Samira.
Atas kondisi tersebut, Samira mengungkapkan agar pemerintah menegakkan aturan perlindungan pekerja dan pemenuhan HAM secara tegas di sektor perikanan. “Hal ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Ratifikasi konvensi internasional oleh ketiga negara harus dianggap lebih dari sekadar formalitas, melainkan sebagai langkah nyata dalam menerapkan regulasi yang ada. Komitmen yang kuat dari pemerintah dalam implementasi aturan tersebut akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja. Bukti nyata akan efektivitas regulasi ini akan menjadi dasar yang kuat untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan adil di sektor perikanan,” tegas Samira.
Memastikan pemenuhan HAM pekerja kapal
Pada peluncuran tersebut hadir perwakilan kementerian/lembaga yang memberikan tanggapan atas penelitian Kebijakan Insentif dan HAM di Rantai Pasok Perikanan. Ketua Tim Kerja Pengawakan Kapal Perikanan, Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP), Muhammad Iqbal Gade menyambut baik hasil penelitian yang dilakukan PRAKARSA yang telah mengarusutamakan prinsip HAM dalam kegiatan bisnis utamanya di sektor perikanan. Iqbal menyebut, perlunya terdapat aturan tenaga kerja perikanan yang harus dipisahkan antara di laut dan di darat. Kemudian, ia juga berharap ada keterlibatan seluruh pihak untuk memastikan adanya perlindungan bagi pekerja perikanan.
“Penyadaran seluruh stakeholder atas perlindungan pada pekerja di kapal harus dilakukan, pemerintah komit untuk mengawal instrumen kontrol. Kami juga membuka diri atas keterlibatan seluruh pihak seperti peneliti, CSO, akademisi, pelaku usaha dan lain sebagainya untuk memastikan pemenuhan HAM pekerja di kapal,” ujar Iqbal.
Sementara itu Nurlaidi, Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menyampaikan bahwa kontribusi sektor perikanan untuk pendapatan negara masih sangat kecil. “Insentif-insentif fiskal untuk sektor perikanan sudah cukup banyak diberikan pemerintah mulai dari instrumen pajak sampai insentif-insentif lainnya. Insentif diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat memberikan kontribusi ke negara. Tapi memang kontribusi penerimaan sektor perikanan masih sangat kecil di bawah 1% dari PDB,” jelas Nurlaidi.
Dewi Candraningrum, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, menyatakan bahwa penelitian harus lebih dalam mengkaji aspek gender. “Posisi perempuan dalam tata kelola perikanan sebenarnya besar sekali walaupun dalam banyak riset masih tidak terlihat,” kata Dewi.
Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, menyampaikan bahwa salah satu isu besar dalam pertemuan World Trade Organization (WTO) ke-13 adalah soal subsidi perikanan. Menurutnya isu ini sensitif, karena WTO secara tegas ingin mendorong negara-negara mengurangi subsidi.
“Meskipun subsidi BBM diberikan untuk nelayan kecil, namun nyatanya mereka tidak bisa mengakses BBM subsidi tersebut karena administrasi sulit dan infrastruktur pendukung terbatas. Nelayan kecil terpaksa membeli BBM mandiri yang harganya jauh lebih mahal,” Ujar Dani.
Kemiskinan yang dialami nelayan kecil, masalah perempuan di pesisir, dan pelanggaran HAM pada pekerja di sektor perikanan yang masih banyak terjadi. Ini membuktikan bahwa kebijakan pemerintah belum betul-betul menyelesaikan masalah yang ada. Pemerintah harus menegaskan prioritas kebijakan yang akan dilakukan lima tahun kedepan, agar kebijakan lebih efektif.