Responsibank Indonesia sebagai perwakilan dari C20 menghadiri Pertemuan C20 Summit dengan tema “ Zeroing-in on Asia’s Just Energy Transition” yang dilakukan secara virtual Pada 5 Oktober 2021. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Responsibank Indonesia yang diwakili oleh Herni Ramdlaningrum, Fair Finance Japan diwakili oleh Yuki Tanabe, Fair Finance India diwakili oleh Shreedar Ramawurthi dan Bea Victorio selaku regional program lead Fair Finance Asia. Pertemuan tersebut membahas tentang pentingnya peran CSO dalam KTT G20 serta komitmen yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) di tingkat domestik, regional maupun global.
“Indonesia akan resmi memegang presidensi KTT G20 pada tahun 2022. Hal ini merupakan memomentum bagi Indonesia untuk mendorong pemulihan ekonomi hijau serta memperkuat komitmen keberlanjutan”, Kata Herni Ramdlaningrum, Responsibank Indonesia.
Herni menjelaskan bahwa peran G20 sangatlah penting dalam megakselerasi agenda transisi energi global. G20 perlu menyusun target komitmen iklim yang lebih ambisius dan memastikan proses transisi yang mengadopsi prinsip ‘No one is left behind’ sehingga praktik pembangunan senantiasa memperhatikan faktor lingkungan, sosial termasuk gender dan hak asasi manusia agar akses terhadap energi bersih dapat dijangkau dan diterima oleh semua kalangan. Selain itu, Shreedar Ramamurthi, Managing Trustee Environics Trust India juga menekankan bahwa G20 perlu berkoordinasi untuk memobilisasi pendanaan ke sektor energi hijau.
“Empat agenda prioritas yang akan kami bawa ke Sherpa G20 diantaranya: (1) mendorong pelaksanaan pemulihan ekonomi hijau dalam memajukan ketahanan iklim dan mitigasi perubahan iklim, (2) batubara sebagai aset terdampar & dampak keuangannya terhadap sektor perbankan, (3) peraturan pajak karbon yang mendukung pengurangan emisi dan (4) mendorong inklusi gender & sosial sebagai bagian dari transisi yang berkeadilan,” kata Herni. Selain itu, ia menegaskan agar Pemerintah Indonesia memberikan sinyal yang jelas dalam mengimplementasikan komitmen kebijakakan iklim serta mendorong DPR untuk segera menerbitkan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga saat ini masih dalam proses pembahasan.
Berkaitan dengan topik transisi energi, beberapa bulan yang lalu Responsibank telah melaksanakan webinar dalam rangka soft launching laporan “Pembiayaan PLTU di Indonesia: Aliran Pendanaan dan Asesmen Kebijakan Kredit & Investasi Perbankan”. Penelitian ini menemukan bahwa bank asing dan nasional menyumbang hingga 19,4 miliar dollar AS untuk membiayai proyek PLTU baru bara di Indonesia pada periode 2014-2019. Lembaga keuangan dari Jepang dan Cina menjadi pemodal terbesar dalam periode tersebut diantaranya adalah JBIC (4,7 miliar dollar AS), China Development Bank (2 miliar dollar AS) dan China Eximbank (1,3 miliar dollas AS).
Fiona melalui pemaparannya menyampaikan bahwa bank-bank nasional sudah mulai membiayai sektor EBT. Namun, sayangnya hal ini tidak didukung oleh target maupun komitmen untuk segera keluar dari pembiayaan fosil. Disamping itu, bank-bank nasional juga belum memiliki target pengurangan emisi pada aktivitas pembiayaan dan investasi sejalan dengan target Paris Agreement.
“Padahal, keuangan berkelanjutan merupakan instrumen yang sangat penting dalam mendorong tercapainya tujuan iklim nasional, terutama dalam upaya mendukung pendanaan adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim. Terdapat gap pembiayaan yang cukup besar. Kementerian Keuangan sudah menerapkan budget tagging, tapi tentunya kapasitas APBN ini sangat terbatas, sehingga perlu didukung oleh pembiayaan dari sektor swasta, khususnya perbankan. Bank dapat menjadi aktor perubahan untuk mendorong pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan sekaligus memecah masalah krisis iklim melalui pendanaan hijau serta menekan pembiayaan ke sektor yang karbon intensif”, Kata Fiona Armintasari, Peneliti The PRAKARSA.
Penelitian ini memunculkan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada regulator maupun Lembaga keuangan. Fiona mendorong agar pemerintah dan DPR segera menerbitkan UU EBT demi terciptanya daya saing serta iklim investasi yang kondusif di sektor EBT. Pemerintah juga perlu menetapkan target yang lebih ambisius di sektor energi melaui komitmen Net Zero Emmission (NZE) pada 2050. Sementara itu, OJK perlu segera menyusun panduan pembiayaan untuk sektor energi sebagai dasar Lembaga keuangan dalam mengembangkan kebijakan, memahami dan mengelola risiko Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) serta mendorong praktik berkelanjutan usaha di sektor energi. OJK juga harus segera menerbitkan taksonomi hijau agar perbankan memiliki standar klasifikasi yang jelas mengenai aktivitas bisnis di sektor energi yang dapat dikategorisasikan sebagai ‘hijau’.
Disamping itu Fiona menambahkan bank perlu menyusun kebijakan sektoral yang secara khusus mengatur penyaluran kredit dan investasi ke sektor energi. “Kebijakan tersebut perlu mendukung tercapainya target penurunan emisi Gas Rumah Kaca sejalan dengan target Paris Agreement dengan mempertimbangkan faktor-faktor LST dan mengadopsi standar minimum yang mengacu pada standar internasional, best practice industry serta peraturan hukum yang berlaku,” tuturnya. Selain itu, Ia juga menekankan pentingnya koherensi kebijakan dan agenda lintas sektoral untuk mendukung ekosistem keuangan berkelanjutan yang kondusif.