Sejak tahun 2014, inisiatif Fair Finance Guide Indonesia atau ResponsiBank telah berkontribusi dalam upaya mendorong perbaikan praktik dan kebijakan industri keuangan agar lebih bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan. Secara berkala ResponsiBank melakukan pemeringkatan 11 bank komersial yang beroperasi di Indonesia dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International bersama dengan lembaga konsultan penelitian yang berbasis di Belanda bernama Profundo. Selain melakukan pemerinkatan bank, ResponsiBank juga melakukan serangkaian penelitian studi kasus (case study) tematis berkaitan dengan keuangan dan inevstasi yang berkelanjutan.
Salah satu tema dalam indikator keuangan berkelanjutan yang dirilis oleh Fair Finance Guide International dan menjadi fokus utama di Indonesia saat ini adalah tema inklusi keuangan. Pada tahun 2017, ResponsiBank telah melakukan riset studi kasus terkait bagaimana kondisi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan inklusi keuangan di Indonesia. Di tahun 2018 ini, Perkumpulan Prakarsa sebagai bagian dari Koalisi ResponsiBank Indonesia ingin melanjutkan studi kasus pada tema inklusi keuangan, khususnya terkait dengan isu remitansi.
Tahun 2015, Indonesia tercatat sebagai peringkat ke-10 dari seluruh dunia dengan predikat penerima dana remitansi terbesar di antara negara-negara lainnya (World Bank, 2016). Tercatat nilai remitansi Indonesia tahun 2015 berdasarkan laporan World Bank adalah US$ 10,5 milyar. Nilai remitansi mengalami penurunan pada tahun 2016, namun kembali menguat tahun 2017, yakni mencapai US$ 8,78 milyar. Sama halnya dengan banyaknya jumlah PMI di wilayahnya, nilai remitansi tertinggi berasal dari negara Arab Saudi, Malaysia, dan Hongkong (BI, 2018).
Remitansi memiliki dampak yang positif dalam peningkatan inklusi keuangan. Salah satunya, remitansi sebagai bentuk transfer berkontribusi dalam peningkatan permintaan layanan keuangan, seperti pembukaan rekening. Namun, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan penerima dana remitan (keluarga PMI) biasanya kurang terlayani atau memiliki akses yang terbatas ke layanan keuangan. Para PMI dan keluarganya yang umumnya berasal dari rumah tangga pertanian miskin di pedesaan menghadapi kesulitan dalam mengakses jasa dan lembaga keuangan formal. Kesulitan tersebut disebabkan oleh minimnya keterjangkauan layanan keuangan formal hingga rendahnya literasi keuangan. Beberapa kesulitan atau hambatan lainnya yang dialami oleh PMI dalam mengakses jasa layanan keuangan untuk mengirim dana remitan adalah persyaratan administratif-legal yang sangat rumit terutama bagi PMI informal, serta mahalnya biaya transfer melalui bank jika dibandingkan dengan beberapa lembaga penyaluran dana remitan lainnya baik secara formal maupun informal (Santoso, et. al., 2014).
Penelitian studi kasus terkait isu remitansi ini ingin melihat akses, hambatan, dan inovasi perbankan dalam memberikan layanan remitansi bagi PMI. Sebagai upaya untuk mematangkan desain dan instrumen penelitian studi kasus mengenai remitansi, maka perlu dilakukan workshop bersama antara tim peneliti Prakarsa dengan expert sekaligus external researcher yang akan dilibatkan dalam penelitian ini.
Unduh Tor Lengkapnya di sini