Bergandengan Tangan Selamatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Berdasarkan data BPJS Kesehatan sampai dengan 1 Januari 2019, kepesertaan JKN telah mencapai 215 juta jiwa atau 81% dari total penduduk Indonesia. Capaian ini masih berada dibawah target kepesertaan UHC 2019. 

Implementasi JKN juga masih dirundung berbagai persoalan, antara lain defisit Dana Jaminan Sosial yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, masalah akses pelayanan, dan masalah komitmen rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan. 

Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam mencari solusi persoalan yang dihadapi dalam implementasi JKN, Perkumpulan Prakarsa bersama dengan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI akan menyelenggarakan dialog interaktif terkait keberlanjutan program JKN.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya akselerasi pencapaian Universal Healthcare Coverage (UHC) melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diamanahkan oleh UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan data BPJS Kesehatan sampai dengan 1 Januari 2019, kepesertaan JKN telah mencapai 215 juta jiwa atau 81% dari total penduduk Indonesia. Capaian ini masih berada dibawah target kepesertaan UHC 2019. Pada tahun 2019, pemerintah menargetkan total kepesertaan mencapai 95% atau 257,5 juta jiwa penduduk Indonesia yang menempatkan JKN-KIS  sebagai salah satu sistem jaminan kesehatan terbesar di dunia. Implementasi JKN juga masih dirundung berbagai persoalan, antara lain defisit Dana Jaminan Sosial  yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, masalah akses pelayanan, dan masalah komitmen rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan. Riset Prakarsa menunjukkan keluhan peserta JKN terhadap layanan rawat inap rumah sakit sebesar 23% dengan alasan kamar selalu penuh dan keluhan terhadap tenaga kesehatan yakni lebih dari 50% menjawab dokter kurang perduli.

Sebagai upaya untuk menjaga kualitas layanan di Rumah Sakit, pemerintah telah membuat beberapa aturan terkait kriteria Rumah Sakit yang dapat menyelenggarakan layanan JKN. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional yang mengatur akreditasi sebagai persyaratan wajib bagi rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Keharusan ini kemudian diperkuat dengan Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Di penghujung 2018, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/768/2018 tanggal 31 Desember 2018 perihal Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan.

Atas dasar surat tersebut, pada tanggal  1 Januari 2019 BPJS Kesehatan memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama dengan sejumlah rumah sakit yang tidak dapat menunjukkan sertifikat akreditasinya. Penghentian kerja sama ini berimbas pada penghentian sementara layanan JKN di rumah sakit-rumah sakit tersebut dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Keresahan berakhir ketika Menteri Kesehatan melalui surat nomor HK.03.01/Menkes/18/2019 tanggal 3 Januari 2019 tentang Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan.  Surat tersebut merekomendasikan BPJS Kesehatan untuk melanjutkan kontrak kerja sama dengan rumah sakit walaupun belum terakreditasi.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan kualitas dan keberlanjutan layanan JKN tidak hanya bertumpu pada BPJS Kesehatan semata melainkan juga pada Kementerian Kesehatan dan fasilitas kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan peserta JKN. Komitmen seluruh pihak mulai dari fasilitas kesehatan, BPJS kesehatan, DJSN, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota diperlukan untuk menjaga keberlanjutan pelaksanaan JKN.

Terkait pendanaan, arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan tahun 2018 menunjukan defisit sebesar Rp16,5 triliun. Angka ini terus membengkak dari yang sebelumnya tercatat defisit sebesar Rp3,8 Triliun (tahun 2014). Persoalan ini memerlukan partisipasi seluruh pihak dalam penyelesainnya. Akan tetapi tren defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan ini akan sulit diselesaikan selama belum ada keterbukaan terkait penyelenggaran JKN. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara dan pengelola Dana Jaminan Sosial dituntut untuk lebih transparan dan akuntable.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam mencari solusi persoalan yang dihadapi dalam implementasi JKN, Perkumpulan Prakarsa bersama dengan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI menganggap perlu melakukan dialog interaktif dengan berbagai pihak, baik Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Asosiasi Rumah Sakit Swasta, CSO, Akademisi, Media dan Masyarakat Umum terkait persoalan akreditasi Rumah Sakit dan dampak defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) terhadap keberlanjutan program JKN.

Unduh Tor Lengkapnya di Sini..

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.