Mengungkap Aliran Keuangan Gelap di Enam Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia di Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

Setelah meluncurkan hasil penelitian pada 28 Maret 2019 di kawasan Cikini Jakarta Pusat dan berdiskusi dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, pada 1 April 2019 di kediaman beliau, Perkumpulan Prakarsa melanjutkan “road show” Aliran Keuangan Gelap atau Illicit Financial Flows di Kementerian Keuangan pada 23 Mei 2019.

Perkumpulan Prakarsa secara khusus diundang oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan untuk mengisi Workshop tentang Pedoman Pemeriksaan Wajib Pajak Sektor Sumber Daya Alam. Acara dibuka secara langsung oleh Direktur Pemerikaan dan Penagihan, RM Wahyu Santoso. Widya Kartika dan Rahmanda Muhammad Thaariq didapuk sebagai pembicara untuk mewakili Perkumpulan Prakarsa serta didampingi oleh Manajer Program, Herni Ramdlaningrum. Dalam acara tersebut dihadiri tidak hanya dihadiri oleh internal Direktorat Jenderal Pajak, namun juga Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Bea dan Cukai.

Dalam acara tersebut, Perkumpulan Prakarsa menjelaskan bahwa aliran keuangan gelap merupakan uang atau modal yang baik perolahan, perpindahan maupun penggunannya secara ilegal. Aliran keuangan gelap merupakan isu penting sebab berkaitan dengan isu penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion) dan pencucian uang dari aktivitas kriminal. Dengan menggunakan metode trade misinvoicing, Perkumpulan Prakarsa mengestimasi aliran keuangan gelap di komoditas ekspor batubara dan tembaga selama 1989-2017 masing-masing sebesar US$34,2 miliar dan US$20,22. Akibat adanya aliran keuangan gelap, Indonesia diestimasikan kehilangan penerimaan pajak dari di komoditas batu bara sebesar US$5.325 juta dan di komoditas tembaga sebesar US$665 juta. Tak hanya itu, Indonesia diperkirakan kehilangan penerimaan royalti dari kedua komoditas tersebut selama 2000-2017 sebesar US$2.961 juta. Terlebih lagi, banyak sekali ditemukan negara yang mengklaim impor dari Indonesia namun Indonesia tidak mencatat, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Perkumpulan Prakarsa memberikan rekomendasi kebijakan bagi Kementerian Keuangan untuk memperketat pengawasan di lapangan, audit laporan eksportir, harmonisasi data lintas negara dan perlunya meninjau insentif-insentif bisnis yang berlaku.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.