UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan Berpotensi Mengurangi Penerimaan Negara

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) pada 5 Oktober 2020. Dalam UU Cipta kerja yang terdiri dari 15 bab dan 186 pasal ini, terdapat klaster perpajakan pada Bab VI Bagian Ketujuh yang berisi 4 pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114.  Masuknya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja mengakomodir pasal-pasal pada rancangan omnibus law perpajakan yang belum masuk ke dalam UU 2/2020. Perlu diketahui bahwa beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk kedalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.

“Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan. Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun sementara kita perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang mensejahterakan rakyat”, kata Cut Nurul Aidha, ekonom The PRAKARSA.

Penurunan tarif PPh Badan ini didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. “Alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha. Dengan itu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia,” tegas Cut Nurul Aidha.

Klaster perpajakan di dalam UU Cipta Kerja memuat pasal tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen di luar negeri. Pada pasal 111 disebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri oleh pemilik Indonesia tidak dipajaki apabila ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya di Indonesia dalam jangka waktu dan memenuhi persyaratan tertentu. Penghapusan PPh atas dividen ini dapat mendorong penempatan dana yang lebih produktif di Indonesia dari pemilik modal dan pengenaan persyaratan terkait pengecualian PPh atas dividen ini dapat mengubah rezim pajak Internasional Indonesia menjadi territorial. “Namun perlu dipahami bahwa penghapusan PPh atas dividen tidak selalu menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri dan juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak.” tambah Cut Nurul Aidha.

Cut Nurul Aidha memberikan catatan khusus perihal pajak transaksi elektronik yang diatur dalam di dalam UU 2/2020, “langkah pemerintah memperluas basis pajak ke sektor ekonomi digital tersebut perlu diapresiasi. Ke depan, pemerintah perlu menyusun langkah yang lebih jelas dan terukur agar mampu optimal mengejar potensi penerimaan negara dari bisnis digital,” tutup Cut Nurul Aidha.

UU Cipta Kerja Pasal 156B tentang Pajak dan Retribusi menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Pemerintah berharap insentif pajak di daerah dapat meningkatkan jumlah investasi ke daerah. “Memposisikan kebijakan insentif perpajakan sebagai daya tarik bagi penanaman modal bukan cara yang paling tepat, berbagai hasil riset menunjukkan bahwa insentif pajak bukanlah pertimbangan utama investor dalam menempatkan investasinya. Oleh sebab itu, rencana kebijakan insentif pajak oleh pemerintah daerah harus dibatalkan, selain tidak efektif menarik investasi juga sangat rawan penyelewengan oleh otoritas di daerah dan sangat susah untuk diawasi karena jumlah pemda sangat banyak,” tambah Herawati, ekonom The PRAKARSA. 

“Pemerintah     harus     meningkatkan     transparansi     pemberian insentif perpajakan yang mengedepankan asas  keterbukaan,  termasuk  mengeluarkan  regulasi  terkait ketentuan fasilitas insentif dan relaksasi pajak pada tingkat regulasi teknis, PP atau PMK Menkeu. Selain itu, pemerintah harus  melakukan  studi  yang  komprehensif  terkait  korelasi  pemberian  intensif  pajak  dengan  tingkat  investasi yang masuk. Hal ini perlu agar potensi hilangnya pendapatan pajak yang seharusnya diterima (revenue forgone) tidak terjadi. Ke depan, pemerintah perlu melakukan reformasi sistem perpajakan yang lebih komprehensif dan transparan,” tutup Herawati yang juga aktif di Forum Pajak Berkeadilan.

Contact Person
Panji Tirta Nirwana Putra
Handphone      : 082140351543
Email                 : pputra@theprakarsa.org

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.