Asia Tenggara, sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan populasi muda, menjadi target utama investasi asing. Negara-negara ASEAN berlomba-lomba menarik investasi asing dengan berbagai insentif pajak, seperti penurunan tarif Pajak Penghasilan Badan (CIT) dan pemberian tax holiday. Namun, kebijakan ini berisiko memicu “race to the bottom,” di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak secara tidak sehat, mengurangi penerimaan negara dan efisiensi ekonomi kawasan. Meskipun insentif pajak diharapkan dapat menarik investasi asing, data menunjukkan bahwa insentif ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti tata kelola pemerintahan yang baik dan kepastian hukum.
Pasca-pandemi COVID-19, arus masuk PMA ke ASEAN kembali menguat, terutama di Singapura yang dikenal sebagai suaka pajak. Namun, insentif pajak yang agresif bukanlah satu-satunya faktor penarik investasi. Studi menunjukkan bahwa tata kelola yang baik, kepastian hukum, dan stabilitas kebijakan lebih berperan dalam menarik investasi asing. Kondisi ini menuntut adanya tindakan kolektif dari negara-negara ASEAN untuk mencegah dampak negatif persaingan pajak yang berlebihan dan memastikan lingkungan investasi yang sehat dan berkelanjutan.
Standar pajak minimum global yang ditetapkan OECD sebesar 15% dianggap terlalu rendah dalam konteks ASEAN, yang memiliki tarif CIT rata-rata lebih tinggi. Negara-negara ASEAN perlu merumuskan pendekatan yang lebih sesuai dengan kondisi ekonomi kawasan dan tidak hanya bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi. Strategi yang holistik dan mencakup berbagai aspek regulasi serta dukungan bisnis sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan investasi yang kompetitif dan berkelanjutan.
Baca selengkapnya Policy Brief volume 46 yang berjudul “Menjembatani Kesenjangan: Menuju Praktik Pajak Perusahaan yang Adil di ASEAN” berikut ini: