JAKARTA – Dugaan kolusi oknum pejabat Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dengan pengusaha yang selama 30 tahun menguasai pasar terigu nasional merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan. Apalagi, rekomendasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor terigu Turki menguntungkan pengusaha daripada rakyat sebagai konsumen yang tidak berdaya serta harus menerima sedikit pilihan jenis dan harga terigu.
“Itu kan aneh. Wajar jika kemudian muncul kecurigaaan terjadi kolusi antara pejabat yang mendukung rekomendasi KADI tersebut dan segelintir pengusaha yang selama ini menguasai pasar terigu nasional,” kata pengamat kebijakan publik dari Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, di Jakarta, Senin (27/2).
Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR RI Hendrawan Supratikno mengemukakan pemerintah tidak boleh melindungi kebijakan yang tidak prorakyat sebab Indonesia memang sangat butuh terigu sehingga tidak ada pilihan lain kecuali melalui impor.
“Kalaupun Turki bisa memberi harga murah, itu namanya bukan dumping. Mereka (Turki) justru telah menyubsidi rakyat Indonesia dengan terigu murah mereka,” kata dia (Koran Jakarta, 27/2).
Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu (PPKPT) mengemukakan KADI sebagai lembaga pemerintah yang mengawasi masalah arus barang dari luar seharusnya mengerjakan masalah penting lainnya ketimbang membela kepentingan segelintir pengusaha terigu yang sudah menikmati manis bisnis itu sejak zaman Orde Baru.
Selain itu, KADI semestinya bereaksi terhadap antidumping untuk komoditas strategis lain, seperti beras, garam, dan kedelai yang nyata-nyata ditanam di Indonesia. Hal itu bertentangan dengan kewajiban KADI menciptakan pasar persaingan bebas.
Maftuchan berpandangan dalam kondisi perubahan iklim yang berpotensi menaikkan harga terigu dunia, sangat berbahaya membiarkan terigu dimonopoli oleh satu perusahaan. Sebab, pada saat terigu di pasar dunia sulit, konsumen di Indonesia akan mendapatkan harga yang melambung.
Maka, penentuan harga kompetitif untuk pasar terigu harus dimulai saat ini oleh menteri perdagangan yang baru, Gita Wiryawan. “Pasar yang dikuasai swasta tertentu berbahaya karena konsumen tak bisa ikut negosiasi atas harga dan stok. Kalau pemerintah mau adil, nggak usah utak-utik dumping terigu, tapi bea masuk terigunya saja yang jangan dinolkan. Dan buka seluas mungkin terigu dunia untuk masuk ke sini,” kata Maftuchan.
Siapa yang Dibela?
Pengamat ekonomi dari FEUI, Aris Yunanto, mengatakan adanya komoditas sejenis
yang diimpor dan lebih murah daripada di dalam negeri seharusnya dilihat
sebagai pemicu untuk mengefi sienkan proses produksi tepung terigu di dalam
negeri.
“Kalau lebih efisien kan harganya akan lebih murah bagi pembeli domestik. Dalam kasus tepung terigu ini, Pemerintah diuji siapa yang akan dibela. Pengusaha besar yang merajai pasar dalam negeri, atau pelaku usaha kecil yang menggunakan produk terigu dan jumlahnya jauh lebih banyak? Kita lihat nanti,” kata dia. YK/lex/AR-2