Industri semen di Pegunungan Kendeng sudah lama menjadi perhatian publik akibat banyaknya masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan termasuk konflik berkepanjangan antara warga, pemerintah dan perusahaan. Koalisi ResponsiBank bersama LBH Semarang melakukan kegiatan webinar dan launching riset yang memotret kasus pelanggaran hak warga dan tanggung jawab bank dalam pembiayaan industri semen di Pegunungan Kendeng Utara, Selasa (24/5/2022). Penelitian ini menyoroti kasus dampak pabrik semen yang berdiri di Kabupaten Rembang yaitu PT Semen Indonesia dan rencana pendirian pabrik semen oleh PT Sahabat Muliasakti di Kabupaten Pati. Penelitian ini juga menekankan bagaimana aliran pembiayaan pabrik semen oleh bank.
Victoria Fanggidae mewakili koordinator ResponsiBank dalam sambutannya menyampaikan, penelitian ini secara khusus menelusuri keterlibatan bank dalam membiayai industri semen di Pegunungan Kendeng Utara. “Karena sebenarnya bukan hanya pabrik atau industrinya saja yang bertanggung jawab, tetapi siapa yang memberi uang kepada pabrik itu juga harus bertanggung jawab,” ungkap Victoria.
Lebih lanjut, Dwi Rahayu Ningrum selaku peneliti ResponsiBank memaparkan temuannya, bahwa dari tahun 2018 hingga Januari 2022, total aliran pembiayaan dan investasi yang diberikan kepada HeidelbergCement dan PT Indocement Tunggal Perkasa yang merupakan induk dari PT Sahabat Muliasakti yang akan beroperasi di Pati mencapai 2,9 miliar Euro, dengan persentase terbanyak bersumber dari pinjaman dan obligasi.
“Paling banyak berasal dari pinjaman sebesar 1,2 miliar Euro, kemudian diikuti obligasi 974 juta Euro, kepemilikan saham sebesar 588 juta Euro dan kepemilikan obligasi 121 juta Euro,” kata Dwi.
Sedangkan bank yang paling banyak menyalurkan pembiayaan ke industri semen di Pegunungan Kendeng Utara adalah Deutsche Bank dengan total pembiayaan mencapai lebih dari 800 juta Euro. “Kemudian Bank lainnya adalah ING, LBBW, BayernLB, Commerzbank, Deka, Allianz, Union Investment, Axa, Stadtsparkasse Dusseldorf, Alte Leipziger, dan apoBank. Untuk aliran pembiayaan dari HeidelbergCement ini tidak ditemukan adanya keterlibatan dari bank-bank nasional,” jelas Dwi.
Sementara itu, total pembiayaan untuk PT Semen Indonesia yang beroperasi di Rembang mencapai 228,1 juta Euro selama periode 2018-2022. Sumber terbanyak berasal dari pinjaman sebesar 172,9 juta Euro kemudian diikuti obligasi 50,8 Euro dan kepemilikan saham 4,4 juta Euro.
Berbeda dengan HeidelbergCement, bank yang terlibat membiayai PT Semen Indonesia paling banyak berasal dari bank nasional yaitu Bank Mandiri dengan nilai pendanaan mencapai 137,2 juta Euro, BNI 86 juta Euro, diikuti oleh Deutsche Bank, Union Investment dan Allianz.
Lebih jauh Dwi menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan masih terjadinya praktek pembiayaan bank yang tidak bertanggung jawab adalah absennya kebijakan untuk mengatur pengelolaan risiko lingkungan dan sosial pada Bank Mandiri dan Bank BNI.
“Di sisi lain meskipun Deutsche Bank memiliki kebijakan yang lebih progresif, namun terjadi inkonsistensi pada praktek di lapangan,” ucap Dwi.
Kemudian, Ahmad Syamsuddin Arif dari LBH Semarang menambahkan, izin lingkungan merupakan persyaratan utama bagi perusahaan untuk dapat mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan. Padahal, nyatanya proses perizinan PT Semen Indonesia tidak melibatkan sosialisasi dan konsultasi secara patut dan layak, bahkan di dalam dokumen Anilisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah tercantum bahwa 67 persen warga menolak pabrik semen, tetapi pabrik tetap didirikan.
Bank-bank yang terlibat , secara tidak langsung turut melanggengkan kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial yang terus terjadi di Pegunungan Kendeng Utara hingga saat ini. Terlebih, bank Mandiri dan Bank BNI merupakan bagian dari First Movers on Sustainable Banking dimana perannya dianggap penting dalam mendorong keuangan berkelanjutan di Indonesia.
“Selain itu ada juga dampak kerusakan lingkungan, akibat beroperasinya pabrik semen menimbulkan berkurangnya resapan air sehingga timbul kekeringan saat kemarau dan banjir saat musim penghujan, debu yang berdampak pada kesehatan warga, kesuburan tanaman pertanian, dan keamanan warga serta menghancurkan Gunung Kendeng sebagai entitas budaya,” kata Ahmad.
Dampak lain yang juga timbul adalah terjadinya kekerasan dari oknum penegak hukum dan keretakan sosial akibat konflik antara warga yang pro dan kontra. Selain itu beroperasinya pabrik semen juga berdampak pada memudarnya budaya dan gaya hidup pertanian sebagai fondasi kehidupan masyarakat adat Sedulur Sikep.
Di akhir webinar salah satu perwakilan warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyampaikan harapannya agar proses advokasi tidak hanya berhenti sampai pada kegiatan riset saja, tetapi juga diperlukan dukungan seluruh pihak dan berkelanjutan hingga pada akhirnya harapan warga untuk hidup sejahtera bisa terwujud.