Dorong Sistem Perpajakan yang Adil di Asean, Pakar Beri Masukan Ini

JAKARTA, DDTCNews – Indonesia perlu memaksimalkan perannya dalam kekuatan Asean pada 2023 ini, khususnya di jalur ekonomi. Salah satu dari tiga pilar strategis yang diusung Indonesia Adalah menuntaskan pemulihan ekonomi di kawasan aspek perpajakan menjadi salah satu menu utama yang termuat di dalamnya.

Deputi Direktur The PRAKARSA Victoria Fanggidae mengungkapkan  ada satu topik menarik yang layak untuk digaungkan oleh Indonesia di tengah upaya negara-negara kawasan dalam berlomba memulihkan ekonomi. Topik yang dia maksud adalah pengenaan pajak kekayaan atau wealth tax oleh negara-negara di Asean.

“Isu pajak Kekayaan ini memang muncul karena pandemi. Namun, meski ekonomi negara mulai pulih, tidak ada salahnya kebijakan ini terus dikaji sebagai alternatif dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil,” ujar Victoria dalam diskusi Asean Semiloka 2023: Transparansi dan Perpajakan yang Adil di Asean, Selasa (14/3/2023).

Kepentingan sosial dalam keadilan pajak, menurut Victoria,  menjadi landasan pokok bagi pemerintah dalam mengimplementasikan pajak kekayaan atau wealth tax nantinya. Apalagi saat ini ketimpangan kesejahteraan terus melebar.

Konsep wealth tax  yang disodorkan oleh Victoria  adalah pemungutan pajak kekayaan terhadap kekayaan bersih atau net worth, Dan kekayaan dari apresiasi atau appreciation of wealth yang dihasilkan dari keuntungan modal (capital gains).

Sistem pemungutannya menggunakan ambang batas dan tarif yang bervariasi di setiap negara, bisa dengan sekali tarik (one off) ataupun pemungutan secara berulang (recurring). Sementara itu subjek dari pajak kekayaan, menurut Victoria, adalah high net worth individual (HNWI)  dengan kekayaan bersih diatas US$1 juta Setara Rp 140  miliar.

“Tujuan dari wealth tax ini, mengurangi pemusatan kekayaan di segelintir individu sehingga menjaga demokrasi. Kemudian, menambah pendapatan negara untuk recovery, serts mendorong kemandirian ekonomi,” kata Victoria.

Ide kebijakan tentang wealth tax ini pun, menurut Victoria, sudah sempat disodorkan kepada anggota parlemen. Berdasarkan survei yang digelar The PRAKARSA, sebanyak 48% peserta survei (anggota Komisi XI DPR RI) sepakat pengenaan pajak kekayaan di atas Rp 140 miliar. Skema pengenaannya menggunakan tarif progresif dengan pemungutan setiap 5 tahun sekali.

Berdasarkan riset yang dilakukan The PRAKARSA, pengenaan tarif progresif 1%-2% terhadap HNWI dengan kekayaaan diatas Rp 140 miliar bisa menghasilkan tambahan penerimaan pajak senialai Rp78,5 triliun. Angka ini mengungguli penerimaan pajak yang berasal dari PPh Pasal 26 ataupun PPh Pasal 22 impor (penerimaan per Desember 2021).

Kendati begitu, pengenaan wealth tax bukannya tanpa kendala. Victoria mengungkapkan, salah satu  pekerjaan rumah yang diemban negara-negara Asean adalah koordinasi antarnegara yang belum optimal terkait dengan kebijakan perpajakan. Disamping itu, sistem pajak yang terlalu beragam antarnegara Asean juga menjadi ganjalan.

Kendala-kendala tersebut, ujarnya, perlu dibahas mendalam dalam KTT Asean 2023 di bawah kepemimpinan Indonesia.

Sementra itu, Kepala LPEM FEB UI Riatu M Qibthiyyah menambahkan bahwa perwujudan sistem pajak yang berkeadilan di Asean menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih rendah di sebagian besar negara Asean.

Di sisi lain. Imbuhnya, tantangan untuk pemenuhan SDGs pascapandemi Covid-19 justru makin besaar.

“Beberapa negara melakukan perubahan kebijakan selama pandemi. Hal ini membantu perbaikan kebijakan pajak di Asean, termasuk dalam hal inni pengelolaan kebijakan insentif fiskal dan administrasi perpajakan,” kata Riatu.

Menurutnya, perbaikan administrasi perpajakan menjadi kunci bagi negara-negara di Asean untuk membangun sistem pajak yang adil. Perbaikan administrasi yang dimaksud, menurutnya, mencakup juga mengefektifkan keja sama global untuk menekan tax evasion serta tax avoidance.

Pengenaan pajak kekayaaan, menurut Riatu, masih mungkin dilakukan. Namun, dia mengingatkan bahwa implementasi kebijakan perpajakan yang baru bukan hal mudah bagi setiap negara, terutama di Indonesia.

“Yang penting itu memperkuat konektivitas dan koordinasi, bukan sampai harmonisasi ya. Sebenarnya harmonisasi pernah dilakukan di Asean terkait tarif di bagian trade. Tapi kalau pajak lebih ke konteks insentif fiskal, agar tidak terjadi kompetisi yang beelebihan,” kata Riatu.

Di sisi lain, Peneliti Transparency International Indonesia Ferdian Yazid menyoroti pentingnya keseriusan setiap yurisdiksi di Asean untuk menekan ruang gerak praktik korupsi dan arus keuangan gelap (illicit financial flow/IFF). Praktik korupsi dan IFF, menurut Ferdian, menggerogoti sistem pajak yang sehat di setiap negara.

Beberapa faktor pendukung terjadinya IFF, menurut catatan Ferdian, antara lain adalah minimnya transparansi pemilik manfaat, adanya perusahaan cangkang yang anonim, adanya peran professional enabler (professional yang membantu terjadinya praktik IFF), dan tarif pajak rendah di Asean.

“Kami melihat ada irisan yang jelas dalam melawan korupsi, penghindaran pajak, dan pencucian uang,” kata Ferdian.

Menurut Ferdian, ada beberapa poin yang perlu dijalankan setiap negara di Asean untuk membangun sistem pajak yang adil. Pertama, adanya transparansi yang jelas tentang kepemilikan asset atau harta (beneficial ownership).

Kedua, kebijakan antipencucian uang yang lebih ketat. Ketiga, meluasnya public country-by-country reporting (CbCR). Keempat, perluasan pertukaran informasi perpajakan antarnegara (AEOI). Kelima, optimalisasi stolen asset recovery. Keenam, pengetatan regulasi atas profesi yang berpeluang memuluskan praktik IFF. “Misalnya, penguatan kode etik bagi lawyer, akuntan, atau konsultan pajak. Jadi peran organisasi profesi lebih besar untuk mencegah praktik korupsi, pencucian uang, atau penghindaran pajak,” kata Ferdian. (sap)

Sumber: news.ddtc.co.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.