Jakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA lembaga penelitian dan advokasi kebijakan memberikan masukan mengenai pendekatan multidimensi dan perlindungan sosial adaptif bagi pembangunan masyarakat di daerah tertinggal.
Direktorat Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia
(PDTT RI) menyelenggarakan kegiatan diskusi bertajuk “Multidimensi Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Daerah Tertinggal terhadap Bencana dan Dampak Perubahan Iklim”, pada Rabu (14/08/2024).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh lintas kementerian dan lembaga terkait seperti The PRAKARSA, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Resilience Development Initiative (RDI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan berbagai pihak lainnya yang menjadi peserta kegiatan.
Pada kesempatan tersebut, Eka Afrina Djamhari, Research and Knowledge Manager The PRAKARSA menyampaikan mengenai “Indeks Kemiskinan Multidimensi untuk Pengukuran Kesejahteraan Masyarakat Daerah Tertinggal”. Eka menjelaskan bahwa pendekatan multidimensi sangat penting untuk memberikan pandangan yang lebih luas dan terukur dalam mengurangi segala aspek kemiskinan terutama di daerah tertinggal.
“Secara konsep, IKM bertujuan untuk memotret kondisi kemiskinan yang lebih holistik dan tidak berusaha menghilangkan kemiskinan moneter, tetapi memberikan pandangan yang lebih luas dan terukur dalam mengurangi segala aspek kemiskinan,” ujar Eka.
Eka juga menyampaikan bahwa pemerintah dapat menggunakan hasil pengukuran kemiskinan multidimensi sebagai dasar perumusan kebijakan atau program dan prioritas anggaran untuk pengentasan kemiskinan di provinsi dan kabupaten/kota atau wilayahnya masing-masing.
Sebagai contoh, Kementerian Desa PDTT dapat memprioritaskan peningkatan pembangunan pada aspek rumah layak, peningkatan akses air minum yang layak konsumsi, perbaikan sanitasi, dan bahan bakar memasak yang merata di wilayah Indonesia timur di mana sebagian besar masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Selain itu, dalam forum diskusi juga membahas mengenai penyesuaian yang dapat dilakukan untuk membangun kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal di era pembangunan yang terdampak perubahan iklim.
Victoria Fanggidae, Deputi Direktur The PRAKARSA menyampaikan mengenai “Perlindungan Sosial Adaptif untuk Membangun Ketahanan Masyarakat Daerah Tertinggal terhadap Perubahan Iklim”. Victoria menegaskan bahwa saat ini masyarakat miskin di daerah tertinggal semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akibat perubahan iklim.
Untuk mengurangi risiko dan kerentanan masyarakat salah satunya dengan memberikan dukungan pada produksi sektor primer.
“Bibit, pupuk dan alat produksi lain, terutama yang tahan hama dan penyakit untuk mengantisipasi perubahan cuaca dan iklim perlu disediakan baik secara gratis ataupun subsidi (termasuk edukasi) untuk memperkuat produksi pangan, terutama kepada petani/peternak/nelayan rentan,” Ujar Victoria.
Konsep perlindungan sosial adaptif sebetulnya juga sudah disusun oleh BAPPENAS di tahun 2023 di mana dapat berfungsi optimal saat normal dan dapat secara adaptif berfungsi penuh saat darurat.
Victoria juga menambahkan, pemerintah juga perlu memperhatikan sejumlah hal antara lain seperti mendukung diversifikasi mata pencaharian penduduk hingga memberikan bantuan tunai yang cukup dan teratur.
“Pemerintah perlu mendukung diversifikasi mata pencaharian terutama di wilayah yang rawan terdampak cuaca ekstrem dan perubahan iklim, memperkuat locally-based SP-DRR-CCA melalui pengorganisasian kolektif yang diinisiasi komunitas, dan pemberian bantuan tunai secara cukup dan teratur dapat membantu membangun aset dan tabungan dan memperkuat ketahanan,” tutup Victoria.