Jakarta, The PRAKARSA – Kontribusi emisi gas rumah kaca sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Other Land Use) menjadi yang tertinggi selain sektor energi. Penggunaan lahan pertanian dan hutan industri di Indonesia sering kali menjadi pemicu kebakaran hutan dan deforestasi. Diskusi ini bertajuk “Menavigasi Tantangan dan Potensi Sektor AFOLU untuk Mencapai Target Iklim Nasional”. Pemerintah dan Perbankan memiliki peran untuk menjaga praktik pembiayaan di sektor AFOLU berjalan dengan standar internasional hingga tidak ada lagi kebakaran hutan dan deforestasi akibat alih fungsi lahan.
Eka Afrina, Research and Knowledge Manager The PRAKARSA menyatakan bahwa alih fungsi lahan untuk industri pulp dan kertas telah menyebabkan berbagai permasalah lingkungan dan sosial. “Konflik terjadi sejak 1992 antara masyarakat adat Sakai dengan perusahaan pulp dan kertas. Konflik berkepanjangan ini sangat merugikan masyarakat adat karena tercerabutnya hubungan dengan alam. Seluruh aspek ekologis masyarakat adat terdampak karena mereka yang kehidupannya sangat bergantung dengan alam kehilangan mata pencahariannya,” ujar Eka.
Industri kehutanan adalah salah satu sektor berisiko tinggi. Sudah tentu, Perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan seperti pulp dan kertas harus berpraktik lebih bertanggungjawab, menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) yang baik, mengadopsi prinsip PBB tentang bisnis dan HAM, dan mengadopsi deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP) karena kawasan hutan sudah pasti bersinggungan dengan masyarakat adat.
Eka menambahkan “Aktivitas industri pulp dan kertas di provinsi Riau sebagai fokus studi menimbulkan pencemaran terhadap udara dan air yang menyebabkan terganggunya kesehatan masyarakat seperti munculnya penyakit kulit hingga pernapasan. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti anak-anak, perempuan, hingga lansia”.
Dwi Rahayu Ningrum, peneliti The PRAKARSA menyatakan bahwa praktik merusak lingkungan akibat aktivitas usaha tidak terlepas dari keterlibatan bank. Bank berkontribusi dalam melakukan pembiayaan yang mendukung aktivitas bisnis, ekspansi, dan pembukaan lahan secara masif. Riset yang dilakukan PRAKARSA menemukan adanya keterlibatan bank dibalik terjadinya deforestasi dan kebakaran hutan.
“Di Indonesia, sejak tahun 2016 hingga September 2022, aliran pembiayaan di industri pulp dan kertas didominasi oleh kredit dari perbankan yang mencapai hingga USD 26,43 miliar atau 98,26 persen dari total keseluruhan aliran pembiayaan yang masuk,” ujar Dwi.
Dari total kredit, bank dari Indonesia mendominasi. Secara berurutan, BRI menyalurkan total kredit mencapai USD 4,33 miliar, Bank Mandiri dengan nominal USD 2,65 miliar, Bank Central Asia (BCA) dengan nominal USD 2,54 miliar, Mizuho Financial perbankan asal Jepang dengan nominal USD 1,5 miliar, serta Bank Negara Indonesia (BNI) dengan nominal USD 1,47 miliar.
“Dalam konteks kebijakan operasional bank, BRI, BNI, Mandiri, dan BCA memperoleh rentang nilai 0-2,7 dari 10 untuk kriteria iklim, kehutanan, HAM, dan SDA. Nilai ini masih tergolong rendah sehingga masih memungkinkan perlunya standar pemberian pembiayaan yang lebih ketat dengan memastikan uji tuntas HAM dan analisis dampak lingkungan,” tambah Dwi.
Dari sisi kebijakan keuangan berkelanjutan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang memuat klasifikasi sektor hijau, kuning, dan merah sebagai panduan bagi bank dalam melakukan pembiayaan, termasuk pembiayaan di sektor pertanian dan industri kehutanan. Tahun ini, OJK menargetkan dokumen Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) sektor AFOLU yang mengatur lebih lanjut terkait klasifikasi pembiayaan yang hijau dan transisi di industri kehutanan. “Dokumen TKBI sektor AFOLU yang saat ini sedang disusun perlu untuk mempertimbangkan berbagai aspek lingkungan dan masyarakat termasuk masyarakat adat. Panduan yang mengadopsi standar global penting untuk diadopsi oleh perbankan dan perusahaan sektor AFOLU di Indonesia,” pungkas Dwi.