Perlunya Reformasi Sistem Jaminan Pensiun di tengah Transisi Demografi Indonesia

Jakarta, The PRAKARSA Lembaga riset dan advokasi kebijakan The PRAKARSA bersama  Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan The Conversation Indonesia menggelar Webinar yang membahas jaminan pensiun di Indonesia. Pada Kamis (26/9/2024). Acara ini dihadiri oleh berbagai pakar dan praktisi yang membahas isu-isu penting terkait sistem pensiun yang ada di Indonesia. 

Pada sesi pembuka, Yanu Endar Prasetyo dari Pusat Riset Kependudukan BRIN selaku moderator diskusi menyampaikan, jaminan pensiun merupakan isu yang relevan untuk semua orang. “Kita semua akan menua, dan pensiun adalah sesuatu yang niscaya. Bagaimana sistem pensiun di negara kita? Apakah sudah ideal?,” kata Yanu. 

Nawawi, Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN, memberikan overview terkait pentingnya jaminan pensiun. Ia mengatakan, “Pensiun yang aman dan nyaman adalah dambaan untuk kita semua. Indonesia sudah masuk dalam kategori aging society, di mana jumlah lansia sudah masuk dalam batas minimal WHO yaitu mencapai 10,48% dari total populasi, Jadi sebenarnya kita on the track untuk menjadi aging society,” jelas Nawawi. 

Sementara itu anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Subiyanto pada kesempatan ini juga menyampaikan pentingnya sistem jaminan sosial yang berkelanjutan di Indonesia. Menurutnya, beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yakni populasi yang menua, perubahan iklim, dan digitalisasi yang mempengaruhi produktivitas. 

Subiyanto dalam paparannya juga menekankan perlunya prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, dalam pengelolaan program jaminan sosial. Selain itu penting juga untuk memperluas cakupan jaminan sosial mencakup pekerja informal dan kelompok rentan, serta menciptakan infrastruktur yang inklusif dan adaptif. 

“Meskipun telah ada kemajuan dalam cakupan jaminan kesehatan dan pensiun, masih terdapat banyak masalah yang menghambat implementasi efektif SJSN. Cakupan peserta yang rendah, regulasi yang ambigu, dan kurangnya penegakan hukum menjadi tantangan signifikan. Untuk itu, perlu adanya integrasi data dan interoperabilitas dalam sistem jaminan sosial untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan,” kata Subiyanto. 

Putut Ardi dari Kementerian Keuangan menyoroti peluang dan tantangan dalam implementasi program pensiun di Indonesia diantaranya mencakup pendapatan pekerja yang rendah, cakupan kepesertaan yang minim, dan aset program pensiun yang relatif rendah dibandingkan negara lain. 

Putut menekankan pentingnya program pensiun yang berkelanjutan dan terjangkau untuk melindungi masyarakat dari kemiskinan di masa tua, serta menjaga daya beli selama masa pensiun. Ia juga menyoroti urgensi reformasi pensiun di tengah transisi demografi, di mana populasi lansia terus meningkat dan populasi usia kerja diperkirakan akan meningkat hingga 2045. “Rekomendasi dari World Bank dan ILO untuk mengadopsi sistem pensiun multi-pilar menjadi salah satu solusi, meskipun tantangan seperti literasi keuangan yang rendah dan harmonisasi dengan hak pasca-kerja masih perlu diatasi agar reformasi dapat berjalan efektif,” jelas Putut. 

Ibrahim Kholilul Rohman dari Indonesia Finansial Group (IFG) Progress menyampaikan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam implementasi sistem jaminan pensiun yang aman dan nyaman adalah pada porsi iuran dana pensiun masih sangat kecil dibandingkan dengan negara lain dan dibandingkan dengan potensinya. 

“Tantangannya terletak pada masalah ayam dan telur antara tingkat iuran dan pendapatan. Tanpa peningkatan pendapatan yang berkelanjutan, peningkatan iuran pensiun akan sulit dilakukan,” Jelas Ibrahim. 

Lebih lanjut Ibrahim menyampaikan tantangan lainnya adalah pengelolaan aset dan liabilitas yang efektif, khususnya untuk program manfaat pasti (defined benefit). Hal ini memerlukan strategi investasi yang kuat, tetapi dana pensiun sering kali kekurangan ahli investasi dan aktuaria yang kredibel. “Tanpa persiapan yang tepat, dana pensiun Indonesia berisiko mengalami defisit masa depan yang signifikan karena ketidakseimbangan antara klaim dan iuran, ditambah dengan populasi penduduk lanjut usia yang terus bertambah,” tuturnya. 

Victoria Fanggidae dari The PRAKARSA memaparkan pekerja sektor informal di Indonesia menghadapi kesulitan dalam mendapatkan perlindungan pensiun karena beberapa faktor, termasuk tingginya jumlah pekerja sektor informal di pasar kerja, rendahnya kesadaran akan pentingnya program pensiun, dan keterbatasan akses terhadap program jaminan sosial. 

“Sebagian besar pekerja informal, terutama perempuan, tidak memiliki persiapan finansial yang memadai untuk masa pensiun, dengan kurang dari 15% yang memiliki dana pensiun. Selain itu, norma sosial yang menempatkan tanggung jawab finansial pada laki-laki mengakibatkan perempuan cenderung tidak mempersiapkan pensiun secara dini, sementara ketidakpercayaan terhadap lembaga asuransi juga menjadi penghalang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam program pensiun,” papar Victoria. 

Menurut Victoria, untuk meningkatkan akses dan partisipasi dalam program pensiun bagi pekerja sektor informal menurutnya perlu adanya penerapan pensiun dasar yang bersifat inklusif dan dibiayai pajak, penyederhanaan penghitungan iuran bagi pekerja mandiri, serta subsidi untuk membantu pembayaran iuran. “Selain itu, penting untuk memberikan fleksibilitas dalam periode dan besaran pembayaran iuran, serta meningkatkan literasi dan edukasi mengenai pentingnya pensiun. Eksplorasi skema kerja sama yang berbasis gotong royong juga bisa menjadi pilihan yang efektif, mengingat model ini sudah familiar di kalangan pekerja informal,” tutup Victoria. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.