Jakarta, The PRAKARSA (Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan) – Aspek pendanaan untuk transisi dan mitigasi perubahan iklim menjadi salah satu tantangan terbesar di dalam isu krisis iklim. Penting bagi CSO memahami transisi keuangan serta kaitannya dengan inklufitas dan gender.
The PRAKARSA, sebagai koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia, telah menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Pembiayaan Iklim yang Inklusif” di Hotel Mercure Sabang, Jakarta, pada Selasa (17/12/2024). Acara ini melibatkan peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil (CSO) yang tergabung dalam koalisi ResponsiBank Indonesia dan beberapa organisasi perempuan.
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta tentang pembiayaan iklim dan keuangan transisi, serta relevansinya dalam mendukung tujuan keberlanjutan di Indonesia. Dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan berkelanjutan di tengah krisis iklim, pelatihan ini menjadi sangat penting untuk membekali CSO dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.
Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dalam sambutannya menyampaikan bahwa aspek pendanaan untuk transisi dan mitigasi perubahan iklim menjadi salah satu tantangan terbesar di dalam isu krisis iklim yang sedang kita hadapi saat ini.
“Kalau kita tengok misalnya di COP29 yang diselenggarakan di Azerbaijan, untuk isu pendanaan meskipun ada kesepakatan negara-negara maju untuk menggalang setidaknya USD 300 miliar atau sekitas Rp.4.600 triliun per tahun untuk negara berkembang hingga 2035. Namun kalau mengacu dari berbagai data di level global, angka tersebut sebenarnya masih jauh dari memadai,” ungkap Maftuchan.
Luthfyana Larasati, Manajer Climate Finance Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia bertindak sebagai pemateri dalam kegiatan ini memaparkan bahwa pemahaman terkait pembiayaan iklim dan keuangan transisi semakin relevan di tengah meningkatnya dampak krisis iklim yang ditandai dengan meningkatnya bencana alam khususnya di Indonesia.
“Indonesia mengalami peningkatan bencana alam yang signifikan, dengan lebih dari 5.000 kejadian bencana pada tahun 2023, meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim,” tutur Luthfyana.
Selain itu, Luthfyana juga menyampaikan bahwa emisi gas rumah kaca di Indonesia telah meningkat lebih dari 52% sejak tahun 2000. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang berdampak pada lingkungan dan ekonomi negara, karena perubahan iklim diperkirakan juga menyebabkan kerugian ekonomi tahunan sekitar USD 14,8 miliar.
“Untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 31,89% tanpa syarat dan 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, Indonesia membutuhkan biaya mencapai USD 285 miliar, sementara 51% dari kebutuhan tersebut belum terpenuhi,” kata Luthfyana.
Untuk itu, menurut Luthfyana keuangan transisi meruapakan instrumen penting untuk mendukung dekarbonisasi dan transisi menuju emisi nol bersih. Mencakup dukungan untuk inovasi, infrastruktur, dan mitigasi dampak sosial yang mungkin timbul dari proses dekarbonisasi.
“Kita berharap sektor keuangan dapat berperan aktif dalam pendanaan proyek-proyek yang ramah lingkungan. Meskipun saat ini hanya 3% dari investasi swasta yang sejalan dengan iklim, ada potensi untuk meningkatkan kontribusi melalui kebijakan dan kerangka kerja yang lebih baik,” tutur Luthfyana.
Pelatihan ini juga membahas pentingnya kerangka kerja keuangan transisi yang responsif gender, yang bertujuan untuk mengintegrasikan kepentingan gender dalam investasi untuk dekarbonisasi.
Pada pembahasan ini, para peserta mendapatkan materi dari Herni Ramdlaningrum, Manajer Program The PRAKARSA. Herni mengungkapkan bahwa meskipun perempuan mewakili 50% populasi dewasa di dunia, mereka hanya berkontribusi 37% terhadap PDB global dan memiliki akses terbatas terhadap sumber daya ekonomi.
Herni memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan, termasuk pembatasan dalam akses pekerjaan dan keuangan di 190 negara. “Misalnya, 47 negara membatasi perempuan untuk mencari pekerjaan, dan terdapat 99 negara menormalisasi penolakan pinjaman dari lembaga keuangan hanya karena pertimbangan gender,” kata Herni.
Dengan menghilangkan hambatan-hambatan ini, diperkirakan perempuan dapat berkontribusi hingga USD 13 triliun dalam pertumbuhan PDB global. Meskipun saat ini hanya 7% perempuan yang bekerja penuh waktu di negara berpenghasilan rendah, ada potensi besar untuk meningkatkan partisipasi mereka di sektor ekonomi.
Herni menekankan bahwa sebenarnya jika lembaga keuangan mau berinvestasi pada perempuan, maka tidak hanya memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi juga mendapatkan keuntungan finansial. “Data menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko kredit yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, menjadikan mereka calon peminjam yang lebih baik,” jelas Herni.
Selain itu, pada kesempatan ini Herni juga menyoroti bahwa keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan berkontribusi pada peningkatan kinerja bisnis. “Perusahaan yang lebih banyak menmepatkan perempuan di tingkat eksekutif menunjukkan hasil keuangan yang lebih baik dan tingkat inovasi yang lebih tinggi,” katanya.
Lebih jauh Herni juga membahas pendekatan investasi yang responsif gender, termasuk pentingnya pengumpulan data dan penerapan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dalam investasi.