Kelangkaan LPG 3kg Subsidi, Saatnya Atur Ulang Sistem Distribusi untuk Masyarakat Miskin

Ilustrasi LPG elpiji 3 kg. Cara mencari pangkalan elpiji 3 kg terdekat secara online. Cara cari pangkalan LPG 3 kg terdekat secara online.(KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA)

Jakarta, The PRAKARSA (Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan) – Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan kembali pengecer berjualan Gas LPG 3 kg.

Setelah, beberapa waktu lalu Kementerian ESDM mengeluarkan surat edaran Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No. B-570/MG.05/DJM/2025, mulai 1 Februari 2025, elpiji 3 kg hanya boleh disalurkan langsung kepada pengguna akhir, seperti rumah tangga, usaha mikro, petani, dan nelayan yang memenuhi syarat.

Kebijakan tersebut menimbulkan banyak masalah dan semakin menyulitkan masyarakat miskin.

Sebagai komoditas energi primer bagi rumah tangga, LPG 3kg bersubsidi seharusnya menjadi penopang aktivitas harian masyarakat menengah bawah. Namun, kebijakan pemerintah yang membatasi distribusi LPG 3kg hanya melalui agen resmi justru memicu kelangkaan di sejumlah wilayah.

Kelangkaan Diperparah Kebijakan Pemerintah dan Ketidaksiapan Agen Resmi

Bintang Aulia Lutfi, Peneliti The PRAKARSA mengkritisi bahwa langkah ini berpotensi memperburuk kesejahteraan masyarakat.

Kelangkaan (scarcity) buatan akibat kebijakan restriktif memperlambat aktivitas ekonomi masyarakat menengah bawah. Antrian panjang, pencarian agen resmi, jauhnya akses pada agen, keterbatasan stok gas LPG 3kg menjadikan rumah tangga dan pengusaha UMKM sulit mendapatkan gas LPG. Hal ini berisiko pada rumah tangga yang terpaksa mengalokasikan dana lebih besar untuk energi atau beralih ke bahan bakar tak ramah lingkungan, seperti kayu atau minyak tanah.

“Alih-alih mempersempit saluran distribusi, pemerintah perlu memperkuat pengawasan harga di tingkat pengecer. LPG 3kg adalah hak masyarakat, bukan komoditas yang boleh dipermainkan oleh ketidakefektifan sistem.” ujarnya, Selasa (4/2/2025).

Bintang melihat bahwa masalah utamanya bukan pada keberadaan pengecer, melainkan akibat lemahnya pengawasan harga di tingkat ritel. Pemerintah perlu memperkuat sistem pemantauan dan sanksi tegas bagi pelaku markup, bukan menghukum konsumen dengan membatasi akses.

Pembatasan penjualan LPG 3kg subsidi hanya melalui agen resmi untuk mencegah markup harga oleh pengecer perlu dikaji ulang. Kapasitas agen resmi dalam memenuhi permintaan masyarakat terbukti tidak memadai, sehingga menimbulkan kelangkaan. Padahal, partisipasi pengecer lokal seharusnya dapat memperluas akses masyarakat terhadap subsidi ini.

Bintang juga menyoroti, bahwa pembatasan distribusi justru akan memunculkan pasar gelap dan berdampak pada masyarakat rentan.

“LPG termasuk barang primer yang inelastis, di mana kenaikan harga tidak signifikan mengurangi permintaan karena merupakan kebutuhan dasar. Alih-alih menyelesaikan masalah markup, pembatasan distribusi justru beresiko memunculkan pasar gelap dengan harga lebih tinggi, dan ini akan memberatkan kelompok rentan.”imbuhnya.

Kelangkaan di masyarakat mencerminkan ketidaksiapan agen resmi dalam mendistribusikan LPG 3kg secara merata dan tepat waktu. Bintang menegaskan, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan pengecer terdaftar, disertai pendataan digital, ini dapat menjadi solusi jangka pendek untuk memastikan subsidi tepat sasaran.

Pemerintah perlu mengevaluasi kapasitas agen resmi dan melibatkan pengecer terpercaya dalam distribusi. Optimalisasi teknologi pendataan, seperti QR Code, sangat penting agar subsidi tepat sasaran. Pemerintah juga harus meningkatkan operasi pasar dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku markup.

“Penting bagi masyarakat untuk diberdayakan agar bisa melaporkan penjual nakal melalui saluran pengaduan terpadu.” tutup Bintang.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.