Aturan Baru soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan Tinggal Tunggu Pengesahan 

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengumumkan bahwa draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan telah selesai disusun. Draf tersebut telah dibahas dalam forum Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dan kini tengah menunggu pengesahan.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, melalui pesan singkat yang diterima Kompas pada Jumat (3/1/2025) di Jakarta.

”Draf RPP tentang Perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sudah selesai kami rancang dan sudah kami bahas di Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional. Saat ini RPP itu sedang menunggu pengesahan atau pengundangannya di Kementerian Sekretariat Negara,” ujarnya. 

Kabar pemerintah akan merevisi PP No 37/2021 sebenarnya telah berkumandang sejak September 2024. Kala itu, saat menghadiri Sidang Kabinet Paripurna yang digelar di Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, Jumat (13/9/2024), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa skema JKP akan direvisi. Salah satu substansi revisi yang disebutkan saat itu adalah kenaikan manfaat uang tunai dan pelatihan kerja. 

Kemudian, pada saat konferensi pers tanggal 16 Desember 2024, Airlangga menyebutkan, salah satu substansi revisi JKP adalah manfaat tunai program menjadi sebesar 60 persen flat dari upah selama 6 bulan. 

Kemenaker diketahui membahas draf RPP tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 2021 dalam rapat LKS Tripartit Nasional pada 23 Desember 2024.

Infografik Tenaga Kerja yang Terkena PHK di Indonesia

Dalam dokumen presentasi Kemenaker mengenai substansi RPP yang dipaparkan saat LKS Tripartit Nasional yang diperoleh Kompas, ada tiga topik substansi penyesuaian. Penyesuaian pertama tentang syarat kepesertaan JKP yang dikaitkan dengan program jaminan sosial lainnya. Penyesuaian kedua terkait penyesuaian syarat penerima manfaat JKP yang mencakup syarat minimum masa iur sebelum terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan masa daluarsa klaim manfaat JKP.  Adapun, penyesuaian ketiga menyangkut peningkatan manfaat uang tunai dalam program JKP.

Terkait penyesuaian pertama, jika mengacu PP Nomor 37 Tahun 2021, peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi peserta JKP merupakan pekerja penerima upah pada badan usaha. Kemudian, dalam RPP Perubahan, pemerintah berencana akan menyesuaikan syarat peserta JKP dengan cara tidak membatasi kepesertaan JKN hanya untuk pekerja penerima upah (formal), tetapi juga mencakup peserta penerima bantuan iuran dan peserta mandiri.

Mengenai penyesuaian kedua, mengacu pada PP Nomor 37 Tahun 2021, manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 2 tahun dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut- turut sebelum terjadi PHK atau pengakhiran hubungan kerja. Maka, dalam RPP Perubahan, pemerintah berencana menghapus syarat iuran 6 bulan berturut-turut bagi pekerja yang mengalami PHK untuk menerima manfaat JKP. Pekerja yang mengalami PHK dinyatakan layak mendapatkan manfaat JKP apabila memiliki jumlah iuran paling sedikit 12 bulan dalam rentang waktu 24 bulan (tanpa melihat kontinuitas) pembayaran iuran.

Kemudian, terkait iuran. Sesuai PP No 37/2021, iuran JKP meliputi iuran pemerintah pusat (0,22 persen), rekomposisi iuran JKK (0,14 persen) yang disesuaikan dengan tingkat risiko, dan rekomposisi iuran JKM (0,10 persen). Dalam RPP Perubahan, menurut rencana, pemerintah akan menghapus rekomposisi iuran JKM sehingga iuran JKP yang semula 0,46 persen dari upah sebulan menjadi 0,36 persen dari upah yang terdiri dari iuran pemerintah dan rekomposisi iuran JKK 0,18% dari upah.

Selanjutnya, penyesuaian ketiga yang tertuang dalam RPP Perubahan menyangkut peningkatan manfaat uang tunai dalam program JKP. Apabila mengacu pada PP No 37/2023, manfaat uang tunai diberikan setiap bulan paling banyak 6 bulan upah dengan ketentuan 45 persen dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25 persen dari upah untuk 3 bulan berikutnya. Maka, dalam RPP Perubahan, manfaat uang tunai diberikan setiap bulan sebesar 60 persen untuk jangka paling lama 6 (enam) bulan. 

Berdasarkan data Kemenaker, jumlah pekerja yang mengalami PHK terus meningkat. Pada tahun 2022 terdapat 25.114 orang, lalu tahun 2023 sebanyak 64.855 orang. Adapun Januari hingga Agustus 2024 mencapai 46.240 orang pekerja/buruh terkena PHK atau naik 23,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023.

Seorang pencari kerja berkebutuhan khusus menanyakan informasi lowongan pekerjaan di salah satu stan bursa kerja di halaman gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (13/12/2024). Kementerian Ketenagakerjaan menggelar bursa kerja bertajuk "Naker Fest Jakarta". Dengan mengusung tema Creating More and Better Jobs, acara ini berlangsung pada tanggal 13-14 Desember 2024. Naker Fest Jakarta melibatkan lebih dari 50 perusahaan serta menyediakan sebanyak 34.264 lowongan kerja secara luring dan daring. Bursa kerja ini sebagai bentuk upaya pemerintah mengurangi jumlah pengangguran dengan langsung mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan. KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (FAK) 13-12-2024
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Sesuai data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sepanjang Januari -September 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP kepada lebih kurang 40.000 pekerja terkena PHK dengan total nominal mencapai Rp 289,96 miliar. Angka ini meningkat 14 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Program Manager The Prakarsa Herni Ramdlaningrum berpendapat, cakupan kepesertaan program JKP hingga 2023 mencapai 13.455.297 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah peserta aktif pekerja penerima upah terkena PHK, peserta JKP itu terhitung sangat rendah. Dia menduga hal ini disebabkan adanya aturan minimum upah bagi peserta JKP sehingga pekerja penerima upah pada badan usaha kecil tidak dapat mendaftar. 

”Penarikan manfaat atau klaim JKP tegolong rendah, padahal kasus PHK marak. Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada segmen pekerja penerima upah dengan cara syarat minimum upah bisa direvisi sehingga menjangkau badan usaha kecil. Kalau pemerintah ingin mengakomodasi pekerja bukan penerima upah (informal), bagaimana mekanisme pendataannya dan apakah pemerintah telah memikirkannya?” ucapnya. 

Jika dilihat pada manfaat JKP, Herni melanjutkan, pemerintah perlu berhati-hati. Pemerintah semestinya melakukan penghitungan yang transparan kepada publik mengenai kalkulasinya. JKK dan JKM yang menjadi cantolan JKP selama ini telah memiliki pembayaran klaim manfaat yang sangat tinggi. Dengan demikian, apabila ada rekomposisi iuran, maka berisiko pada ketahanan dana.

Mengenai manfaat tunai yang menurut rencana diubah menjadi 60 persen dari upah setiap bulan selama 6 bulan, dia memandang rencana ini pun memerlukan perhitungan yang teliti, terutama menyangkut berapa lama pekerja yang mengalami PHK hembali ke pasar kerja. 

”Hati-hati dengan kebijakan populis karena akan berpotensi membebani anggaran negara. Kebutuhan pekerja pada dasarnya adalah memiliki akses untuk mendaftar JKP, proses klaimnya mudah dan efektif, serta biaya kebutuhan dasar dapat tercukupi selama menganggur akibat PHK,” imbuh Herni. 

Pekerja keluar dari gedung perkantoran saat jam istirahat di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan,Senin (20/5/2024). Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka turun tipis 0,54 persen, yakni dari 5,86 persen pada Agustus 2022 menjadi 5,32 persen pada Agustus 2023. Tingkat pengangguran terbuka 5,32 persen artinya ada lima orang mengangur di antara 100 orang angkatan kerja.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Kembali bekerja

Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko S Otang berpendapat, selama ini, kepatuhan perusahaan mendaftarkan karyawannya dalam seluruh program jaminan sosial terbilang masih rendah. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah berani menghapus syarat wajib seluruh program jaminan sosial untuk mengakses program JKP. 

”Kami juga menyarankan agar pekerja formal dengan durasi masa kerja pendek dapat mengakses JKP. Lalu, akses JKP dapat dibuat dua macam, yakni melalui layanan digital dan luring, karena mempertimbangkan literasi digital dan akses internet masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia belum merata,” katanya. 

Andriko menambahkan, hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah efektivitas JKP untuk mengembalikan pekerja ke dalam pasar kerja. Masih banyak pekerja korban PHK lalu mengakses program JKP, tetapi susah kembali ke pasar kerja karena tidak menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kategori usia, pekerjaan, dan zona tempat tinggal mereka.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan mengatakan, pihaknya telah memberikan sejumlah saran dan masukan kepada pemerintah terhadap rencana mengeluarkan RPP Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 2021. Sebagai contoh, SPN berharap pemerintah mengadakan audit dana rekomposisi iuran JKP sebagai bentuk transparansi pengelolaan anggaran program. 

Saran SPN lainnya, jika pemerintah melihat program JKP sebagai sarana menanggulangi risiko sosial karena pekerja kehilangan pekerjaan akibat PHK, maka manfaat program JKP harus memberikan perlindungan kepada semua jenis PHK, kecuali PHK karena usia pensiun dan PHK karena pekerja meninggal dunia.

Ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023 tentang tidak adanya masa daluarsa bagi gugatan PHK. SPN berharap pemerintah tidak memberikan batasan masa daluarsa dalam klaim program JKP

”Kami juga menyarankan, rencana pemerintah memberikan manfaat tunai 60 persen setiap bulan dalam 6 bulan itu diikuti ketegasan tidak ada celah bagi peserta JKP untuk kehilangan manfaat itu,” kata Iwan. 

Sumber: Kompas.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.