
Jakarta, The PRAKARSA – Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menanggapi rencana pemerintah untuk mendirikan Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) sebagai turunan dari Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2023 tentang Lembaga Produktivitas Nasional (LPN). Lembaga ini akan diisi oleh delapan Kementerian/Lembaga dan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pekerja nasional melalui program pelatihan vokasi dan sertifikasi kompetensi. Menaker Yassierli mengonfirmasi bahwa salah satu program LPN adalah integrasi SMK dan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk memperbanyak penyerapan tenaga kerja.
PRAKARSA mengapresiasi langkah pemerintah yang menyoroti melemahnya produktivitas pekerja nasional. Laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2023 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 ASEAN dari ukuran produktivitas, dengan rata-rata kontribusi produktivitas pekerja terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya US$14 per kapita tiap jam-nya. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai US$26 atau Singapura US$74.
Beberapa catatan kritis
Bintang Aulia Lutfi, peneliti ekonomi The PRAKARSA, memberikan beberapa catatan untuk rencana pembentukan LPN untuk memastikan bahwa LPN produktif dalam menjalankan tugasnya. Pertama, permasalahan rendahnya produktivitas adalah permasalahan struktural yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembentukan lembaga baru. “Di tingkat makro, ada korelasi positif antara menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dan melemahnya produktivitas pekerja. Hal ini dikarenakan transisi pekerja ke sektor jasa dengan permintaan yang tidak menentu, dan tidak terjadinya transisi pekerja dari sektor agrikultur ke sektor yang lebih produktif”.
Bintang menambahkan, di level meso, rendahnya permintaan di tingkat sektoral dikarenakan melemahnya daya beli juga mempengaruhi produktivitas. “Kasus pailit Sritex, misalnya, menunjukkan bahwa lemahnya daya beli berdampak terhadap produktivitas, dalam hal ini sampai terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif yang berdampak terhadap indikator produktivitas nasional”.
Selain itu, di level mikro, sistem pekerjaan yang non-automotized dan rendahnya meritokrasi juga berpengaruh terhadap produktivitas. “Hal-hal ini mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran”, ujarnya.
Sejalan dengan Bintang, Pierre Bernando Ballo, peneliti kebijakan sosial The PRAKARSA, berargumen bahwa peningkatan produktivitas dapat diukur melalui indikator Total Factor Productivity (TFP). Peningkatan TFP memerlukan investasi pada skilling, upskilling, dan reskilling tenaga kerja. Namun, optimalisasi institusi yang telah ada akan lebih efektif dibanding pembentukan yang baru, mengingat tantangan aksesibilitas dan waktu yang dibutuhkan untuk menjangkau masyarakat terutama di sektor high value added yang membutuhkan keterampilan yang spesifik.
Oleh karenanya, Pier menyarankan agar pemerintah fokus untuk memerhatikan institusi dan program yang sudah ada dan bertujuan untuk peningkatan skill pekerja, seperti Balai Latihan Kerja (BLK), program Prakerja, maupun pendidikan vokasi secara umum.
Temuan riset PRAKARSA dan INFID (2019) menunjukkan bahwa banyak BLK masih underutilized dan tidak mendapatkan pendanaan yang cukup. Sehingga, apabila pemerintah hendak meningkatkan produktivitas, pemerintah perlu untuk mengalokasikan dana sekurang-kurangnya 2 (dua) persen untuk pendidikan vokasi dari alokasi dana nasional, membangun skema pembiayaan inovatif, dan memperkuat kelembagaan BLK.
The PRAKARSA adalah lembaga think tank yang befokus di isu kebijakan sosial, ekonomi & finansial, dan pembangunan berkelanjutan. Sejak 2004, PRAKARSA konsisten untuk memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah di isu-isu terkait produktivitas pekerja, perlindungan sosial, dan lain sebagainya.