Bagaimana Indonesia menempatkan isu kelanjutusiaan dalam prioritas pembangunan? Dan seperti apa dukungan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera bagi lansia?
Rabu, 13 Januari 2021 PRAKARSA mengudara di Radio KBR dengan 100 Radio Jaringan KBR dari Aceh hingga Papua dan 104.2 MSTri FM Jakarta. Talkshow dalam segmen Ruang Publik KBR mengangkat tema “Upaya Mendorong Lansia yang Sejahtera”. Talkshow menghadirkan Herni Ramdlaningrum selaku manager program PRAKARSA, Khotimun selaku Koordinator Asosiasi LBH APIK dan Ibu Zumrotin selaku perwakilan Lansia Sejahtera dan YKP.
Talkshow dibawakan dengan santai dan menarik menyajikan fakta mengenai Lansia di Indonesia. Isu kelanjutusiaan belum banyak diperbincangkan, padahal berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan persentase lansia di Indonesia pada 2035 ada 49,6 juta orang (sekitar 16,5 persen), dan pada tahun 2050 akan menjadi 80 juta orang atau 25 persen. “Angka ini menunjukkan bahwa pada tahun 2050 Indonesia akan memiliki angka non-produktif yang sangat tinggi dan angka usia produktif yang rendah. Hal ini perlu diwaspadai oleh semua pihak karena akan berimplikasi signifikan bagi kondisi kehidupan para lansia di masa depan.” ujar Herni Ramdlaningrum, manager program PRAKARSA.
Indonesia juga akan mengalami feminisasi Lansia, dimana jumlah Lansia perempuan lebih banyak dari laki-laki. Hal ini disebabkan karena usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki sehingga lansia perempuan hidupnya lebih panjang dan jumlahnya akan banyak. Kondisi ini perlu menjadi perhatian dan dipersiapkan, karena lansia perempuan umumnya hidup dalam kondisi yang sangat rentan dan kekurangan “sejak kecil diskriminasi gender kuat sekali jadi kesempatan belajar saat itu tidak seperti sekarang, kesempatan kerja perempuan juga terbatas. Jadi feminisasi lansia saat ini adalah sesuatu yang sungguh memprihatinkan. Ini adalah dampak dari kebijakan yang tidak berkeadilan gender di masa lalu sehingga berdampak pada kemiskinan lansia perempuan yang luar biasa.” papar Ibu Zumrotin, YKP.
Ibu Zumrotin juga menyampaikan bahwa untuk mengantisipasi feminisme lansia di masa depan maka pemerintah perlu memiliki kebijakan atau program-program yang menghilangkan diskriminasi gender dan kesempatan pada perempuan harus dibuka lebih luas termasuk akses pendidikan dan pekerjaan.
Informasi yang ramah lansia merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menunjang kesejahteraan lansia terutama di masa pandemic sehingga lansia bisa dipastikan mendapat bantuan sosial “ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti menyajikan informasi ramah lansia, karena informasi yang muncul sangat beragam hingga hoax. Perlu dipastikan bahwa lansia masuk sebagai penerima bantuan sosial, karena sering kali lansia tereksklusi karena lansia tidak punya identitas seperti KTP. Peran komunitas juga harus lebih pro aktif atas kondisi lansia di sekitarnya” ujar Herni Ramdlaningrum, manager program PRAKARSA.
Isu kelanjutusiaan sering tidak menjadi prioritas program pemerintah, hal ini disebabkan karena sering kali program-program pemerintah ditujukan untuk kelompok usia produktif, anak dan ibu. Sedangkan untuk remaja dan lansia masih sangat jarang, padahal jika melihat siklus hidup seharusnya ada program yang mengakomodir kebutuhan lansia. Program untuk kesehatan lansia juga dinilai masih minim “seharusnya apabila kita tidak menginginkan lansia menderita baik fisik dan psikis maka seharusnya lansia mendapatkan pendampingan dari sisi psikologis. Pemerintah harus memberikan bantuan secara komperhensif baik dari kesehatan, jaminan sosial dan psikologisnya.” imbuh Ibu Zumrotin, YKP.
Program-program khusus lansia jumlahnya masih sangat terbatas. Meskipun rata-rata lansia hidup dalam ekonomi lemah dan hidup dalam keluarga tiga generasi. Lansia yang tinggal dala tiga generasi tidak bisa mendapat pemenuhan hidup yang optimal “lansia yang tinggal dalam tiga generasi kebutuhannya tidak bisa terpenuhi dengan baik karena harus dibagi dengan anggota keluarga lainnya. Sehingga seluruh lansia seharusnya mendapatkan bantuan secara universal dari pemerintah tanpa membedakan status sosial ekonominya.” papar Herni Ramdlaningrum, manager program PRAKARSA.
Kebijakan perlindungan sosial untuk lansia juga dinilai tidak merata. Meskipun pemerintah sudah punya program untuk lansia seperti kartu lansia namun memang jumlahnya berbeda-beda nominalnya di setiap daerah. Selain itu ada hambatan yang dialami lansia seperti tidak punya identitas hukum. Diakui oleh Khotimun menjadi tantangan tersendiri ketika melakukan advokasi karena jika mau mengadvokasi pemenuhan hak dasar dan kekerasan sulit karena lansia tidak punya KTP, sehingga akhirnya LBH Apik juga mengadvokasi kepemilikan KTP lansia tersebut. Selain itu LBH Apik juga melakukan pendampingan kepada lansia di salah satu desa di Medan yang tidak mendapatkan bantuan sosial karena dianggap tidak miskin. Padahal diakui bahwa lansia yang tidak miskin juga terdampak akibat pandemic Covid-19 “seharusnya yang menerima bantuan itu bukan hanya yang miskin, karena yang terdampak itu hampir seluruhnya. Mereka kesulitan untuk menjual hasil panennya dan dibeli dengan harga yang sangat murah. Lansia kesulitan menjual sendiri hasil panennya karena pasar yang cukup jauh dan kondisi pandemic.” ujar Khotimun, Koordinator Asosiasi LBH APIK.
Pendekatan perlindungan sosial yang dibuat pemerintah harusnya berbasis hak dimana lansia dipenuhi hak-haknya dan program-program lansia bukan lagi dipandang sebagai charity. Akses lansia dalam menerima bantuan juga harus diperhatikan, sehingga lansia dapat dengan mudah mengakses bantuan sosial yang mereka terima.
Untuk generasi milenial juga dihimbau untuk mempersiapkan hari tuanya dengan baik. Terlebih lagi, generasi milenial umumnya lebih menyukai kuliner dan travelling. Generasi milenial saat ini harus mempersiapkannya dari sekarang “hai milenial-milenial muda, rencanakan masa lansiamu sejak muda. Saya lansia sejahtera karena dipersiapkan sejak muda, saya menabung, mengendalikan diri mengatur pengeluaran dan menabung untuk hari tua sehingga tidak bergantung pada siapapun.” ujar Ibu Zumrotin, YKP.
Mulai sekarang untuk generasi muda, kita harus sadar bahwa kita akan menjadi lansia dan Indonesia akan menghadapi ledakan populasi lansia di tahun 2050. Kita perlu merekonstruksi pemikiran yakni bahwa tidak memandang lansia sebagai beban melainkan sebagai warga negara yang berdaya dan memiliki hak. Sebagai kelompok milenial perlu menyiapkan sedini mungkin kehidupan lansianya “studi PRAKARSA menunjukkan bahwa lebih dari 90% responden kelompok usia produktif menganggap bahwa jaminan hari tua atau pensiun itu penting, tetapi hanya 11% yang memiliki persiapan hari tua. Sehingga penting bagi kita mempersiapkan hari tua untuk menjadi lansia sejahtera di masa depan” tutup Herni Ramdlaningrum, manager program PRAKARSA.
Siaran ini juga bisa anda dengarkan secara utuh melalui podcast kbrprime.id pilih Ruang Publik atau youtube Berita KBR.