Jakarta, The PRAKARSA – Penggunaan rokok elektronik atau vape di Indonesia telah meningkat pesat, dalam beberapa tahun terakhir terutama di kalangan perempuan, anak, dan remaja. Hal ini menjadi perhatian serius bagi para pemerhati kesehatan, terutama mengingat lemahnya pengawasan terhadap produk ini. Hal ini diungkapkan Aqilatul Layyinah, peneliti The PRAKARSA, dalam acara 2nd ITCRN Conference: New Era of Tobacco Control Policy for Good Health and Wellbeing, yang di gelar di Grand Asrilia Bandung, Bandung, pada Jumat (27/92024).
Data menunjukkan Indonesia kini menjadi pasar bagi industri rokok elektronik. Pada tahun 2019, total nilai pasar rokok elektronik di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mencapai $595 juta. Sejak 2015, penjualan rokok elektronik di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, dan diproyeksikan akan segera mengalahkan Malaysia sebagai pasar terbesar di kawasan (Euromonitor,2020).
Menurut data survey kesehatan Indonesia (SKI) 2023, proporsi perempuan yang mengonsumsi rokok elektronik lebih tinggi dibandingkan konsumen laki-laki (Kemenkes, 2023). Data ini membuktikan bahwa perempuan kini menjadi target utama konsumen produk rokok elektornik atau vape. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk mengawasi dan mengendalikan peredaran rokok elektronik, terutama di kalangan perempuan yang rentan.
Menurut Aqila, meskipun konsumsi rokok elektronik masih lebih rendah dibandingkan rokok konvensional, tren pertumbuhan penggunaannya sangat cepat. “Data Global Adult Tobacco Survey (2021) menunjukkan bahwa jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas meningkat dari 0,3% pada tahun 2011 menjadi 3,0% pada tahun 2021. Ini merupakan lonjakan yang signifikan dalam waktu singkat,” tutur Aqila.
Lebih lanjut Aqila menjelaskan dari regulasi yang ada, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, mencoba mengatur peredaran rokok elektronik dengan ketentuan yang cukup detail. Namun, celah dalam pengawasan masih ada dan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh industri tembakau untuk melemahkan regulasi. “Indeks Gangguan Industri Tembakau (Tobacco Industry Interference) menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, yaitu 84 poin pada tahun 2023, mencerminkan pengaruh industri tembakau yang kuat terhadap kebijakan publik,” kata Aqila.
Lebih lanjut Aqila menjelaskan, dari hasil riset yang ia lakukan berhasil mengumpulkan bukti visual tentang perilaku konsumsi dan peredaran rokok elektronik di Jakarta Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak perempuan menganggap rokok elektronik kurang berbahaya dibandingkan produk tembakau lainnya, dan sering kali mencoba vaping di area yang dilarang merokok.
Berdasarkan temuan tersebut Aqila menyampaikan beberapa rekomendasi untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap perempuan diantaranya. Pertama, perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok elektronik, khususnya di kalangan perempuan dan remaja.
Kedua, melakukan pelarangan tegas terhadap distribusi rokok elektronik tanpa kecuali, untuk mencegah akses yang mudah bagi kelompok rentan. Ketiga, memperketat regulasi cukai untuk produk rokok elektronik dan melarang varian rasa yang dapat menarik perhatian konsumen muda.
Di akhir paparannya, Aqila berharap penelitian yang ia lakukan dapat mendukung advokasi terkait pengawasan penggunaan rokok elektronik dan dampaknya terhadap kesehatan perempuan di Indonesia.
“Peningkatan penggunaan rokok elektronik di Indonesia, terutama di kalangan perempuan, merupakan fenomena yang memerlukan perhatian serius. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan sosialisasi tentang bahaya rokok elektronik, diharapkan dapat mengurangi angka konsumsi dan melindungi kelompok yang paling rentan dari dampak kesehatan yang merugikan,” tutup Aqila.