Jakarta, ResponsiBank Indonesia – Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan target 32% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Target ini akan mendorong peningkatan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan yang salah satunya akan diwujudkan melalui komoditas nikel sebagai bahan baterai untuk kendaraan listrik.
Bertolak belakang dengan jumlah cadangan nikel di Indonesia yang mencapai sekitar 72 juta ton atau setara 52% cadangan nikel dunia, hingga saat ini, Indonesia hanya mampu memproduksi nikel hingga Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) atau satu tahap sebelum nikel sulfat. Nikel di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kendaraan listrik masih sangat kecil atau hanya sekitar 1% sedangkan pemanfaatan nikel untuk diekspor dalam bentuk medium (setengah jadi) 80% diekspor ke Cina untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan stainless steel.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA sekaligus Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia, Ah Maftuchan menyampaikan, pemilihan umum (Pemilu) calon presiden dan calon wakil presiden 2024 kali ini perlu dijadikan momentum untuk mendiskusikan hal-hal yang subtantif dan melampaui dari sekedar perbutan kekuasaan.
“Terutama pada tema-tema transisi energi yang berkeadilan, keuangan berkelanjutan, dan lingkungan bisa menjadi pembahasan serius oleh semua calon presiden dan calon wakil presiden yang saat ini ikut berkontestasi,” ungkap Maftuchan, dalam sambutannya pada diskusi publik bertema Menakar Masa Depan Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel di Hotel Le Meridien, Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (9/1/2024).
Dari hasil analisis konten media yang dilakukan oleh The PRAKARSA (2023) menemukan bahwa pembahasan dari para aktor pemerintah perihal industrialisasi nikel di Indonesia lebih banyak didominasi pembahasan pada aspek ekonomi, seperti baterai kendaraan listrik dan hilirisasi industri nikel, sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan persoalan HAM belum menjadi pembahasan serius.
Selain itu, Novi Onora Peneliti TuK Indonesia menambahkan, dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM menjadi aspek penting yang patut diperhatikan atas hadirnya industri nikel. Warga lokal, termasuk masyarakat adat, menanggung beban kerusakan lingkungan, dan beberapa di antaranya kehilangan ruang hidup karena kawasan hutan yang mereka diami berubah menjadi konsesi pertambangan tanpa menghiraukan aspirasi masyarakat. Sebagaimana temuan TuK Indonesia di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, berdasarkan hasil pengukuran pada indeks kualitas air, indeks kualitas udara, dan indeks kualitas tutupan lahan.
“Pengukuran pada kualitas air menunjukkan bahwa air di sungai dan di laut sekitar PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mengalami kondisi cemar. Kondisi cemar yang terjadi berdampak terhadap penurunan nilai oksigen terlarut, selain itu kondisi cemar pada laut sangat berpotensi pada kehilangan mata pencaharian bagi nelayan dan petani rumput laut serta kerusakan terumbu karang,” jelasnya.
Meski demikian, Novi menjelaskan, indeks kualitas lingkungan hidup di Kecamatan Bahodopi masuk dalam kategori sangat baik, sebab tutupan lahan hutan masih mendominasi wilayah kecamatan Bahodopi dibandingkan tutupan atau penggunaan lahan lainnya. “Padahal, dalam konteks ekstraksi pertambangan, luas tutupan lahan yang dibuka pasti cenderung tidak seluas ekstraksi pada sektor perkebunan monokultur. Hal tersebut turut menjadi poin kritis terhadap perhitungan indeks kualitas lingkungan hidup berdasarkan standar pemerintah yakni standar yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018,” tambahnya.
Sementara itu dari aspek pembiayaan, Peneliti The PRAKARSA Ricko Nurmansyah mengungkapkan industri nikel di Indonesia banyak dibiayai oleh investor asal China yang tercatat berinvestasi mengembangkan hilirisasi, bahkan dari 248 tungku smelter nikel di Indonesia, 137 tungku terafiliasi investor China.
“Hasil penelusuran aliran keuangan itu didominasi modal asal Tiongkok (China), banyak diinvestasikan di Sulawesi, Halmahera, atau Maluku Utara,” ungkap Ricko.
Lebih lanjut, Abdul Haris Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, menambahkan bahwa ada 5 mitos transisi energi di Indonesia. “Sampai saat ini transisi energi masih mitos, diantaranya stop PLTU, energi baru terbarukan, eksploitasi atas nama transisi, ramah lingkungan, dan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”, imbuh Haris.
Visi dan Misi Paslon Capres perlu diperkuat
Transisi energi sejatinya telah menjadi agenda yang dikampanyekan oleh ketiga pasangan calon (paslon) peserta Pilpres 2024. Meski begitu, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi ketiga paslon ini. Pertama, dari sisi penerapan aspek Lingkungan Sosial dan Tatakelola (LST), ketiga paslon telah menuliskan komitmennya dalam dokumen visi-misi. Namun, ketiga paslon ini belum menyebutkan sejauh apa intervensi yang akan dilakukan dalam penerapannya terhadap aspek LST, terutama dari segi aliran pembiayaan. Misalnya saja, belum ada pernyataan penindakan tegas terhadap perbankan nasional ataupun internasional yang masih membiayai sektor-sektor energi kotor yang terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Kedua, para paslon belum memperhatikan dan menyediakan fasilitas pengaduan (grievance mechanism), penindakan, dan bentuk pertanggungjawaban terhadap masyarakat rentan terdampak yang berada di sekitar area pertambangan, mencakup kelompok perempuan, disabilitas, masyarakat adat, anak-anak, hingga lansia.
Ketiga, adanya kekurangan dalam bentuk kebijakan konkret dari ketiga paslon terkait dengan keberlanjutan lingkungan yang berdampingan dengan eksploitasi nikel. Walaupun komitmen terhadap pelestarian alam telah diungkapkan, masih belum ada rencana yang jelas mengenai restorasi lahan pasca eksploitasi, yang menimbulkan pertanyaan mengenai viabilitas jangka panjang dari praktik-praktik ini.
Jubir ketiga paslon Capres dan Cawapres ditantang untuk memikirkan pendanaan alternatif transisi energi dan pensiun dini PLTU, investasi yang lebih bertanggung jawab, dan memasukan revisi instrumen perlindungan lingkungan hidup dan pemenuhan HAM terutama untuk kelompok rentan.