Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam upaya menagani perubahan iklim dan lingkungan. Aksi terhadap perubahan iklim dan lingkungan menjadi prioritas bagi pemerintah sejak penandatangan Paris Climate Agreement 2015 dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (RPJMN) untuk pengurangan gas rumah kaca dengan 27,3 persen emisi pada tahun 2024.
Komitmen tersebut kembali diperkuat melalui pembaharuan rencana Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) dengan menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa syarat menjadi 29% dan bersyarat (dengan dukungan internasional) menjadi 41% pada tahun 2030.
Dalam rangka mendukung upaya tersebut, ResponsiBank Indonesia dan Profundo menyelenggarakan pelatihan bagi perbankan dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dengan tema “Mengembangkan Kebijakan Kredit yang Bertanggung Jawab untuk Lingkungan dan Perubahan Iklim”.
Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid pada Rabu-Kamis (26-27/10/2022), Acara luring dilaksanakan di DoubleTree by Hilton Hotel, Jakarta sedangkan acara daring dapat di ikuti melalui Zoom Meeting. Dengan menghadirkan dua pembicara yaitu Founder dan Direktur Eksekutif PROFUNDO Jan Willem van Gelder dan Bustar Maitar yang merupakan Founder and CEO dari EcoNusa Foundation.
Deputi Direktur The PRAKARSA Victoria Fanggidae menyampaikan, kegiatan ini dilaksanakan untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan, terutama bagi sektor keuangan di Indonesia agar siap menghadapi tuntuntan dan juga permintaan dari dunia yang saat ini sangat mendorong isu pembangunan berkelanjutan bisa dikerjakan oleh semua pihak.
“Bukan hanya pemerintah dan juga lembaga masyarakat sipil (OMS) seperti kami, tapi juga terutama privat sector dalam hal ini adalah sektor keuangan, terutama perbankan,” kata Victoria.
Menurut Victoria, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia juga telah mendorong agar industri perbankan bisa munuju pada praktek pembanguanan berkelanjutan dan mencapai target-target yang telah ditetapkan oleh komunitas global dan Indonesia.
“Kita tidak bisa mundur lagi ke masa lalu memang target-target ekonomi, ligkungan, harus berjalan bersamaan dengan target-target sosial juga. Sehingga yang bisa kita lakukan saat ini ialah belajar tentang bagaimana upaya kita bersama-sama dengan sektor keuangan perbankan khususnya untuk mencapai target tersebut dan memenuhi berbagai standar,” jelas Victoria.
Pada sesi pertama, pelatihan ini banyak membahas tentang apa saja standar-standar yang ada dalam aksi pembangunan berkelanjutan baik yang ada di Internasional maupun nasional, baik yang standar yang secara sukarela dilakukan oleh gabungan, asosiasi atau berbagai lembaga keuangan dan lembaga standarisasi.
Jan Willem van Gelder dalam kesempatan ini mengungkapkan bahwa negara pesisir seperti Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Selain itu ia juga menyinggung terkait Perjanjian Paris yang menurutnya perlu dibatasi hingga 1,5 derajat Celcius.
“Hal ini membutuhkan pengurangan separuh emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global pada tahun 2030 dan emisi GRK nol bersih pada tahun 2050,” kata Jan.
Menurut Jan, dalam hal ini peran bank sangat dibutuhkan karena bank berkontribusi pada perubahan iklim dan masalah lingkungan. “Perubahan iklim dan lingkungan sangat berdampak pada bank. Untuk itu, standar internasional dan kebijakan nasional menghendaki agar bank turut mendukung mitigasi dan adaptasi,” tutur Jan.
Pada sesi Kedua, Jan menyebut sebenarnya telah banyak inisiatif sukarela yang dilakukan oleh sektor perbankan terkait perubahan iklim. Namun keterlibatan bank dari Indonesia dan ASEAN lainnya sangat minim, meskipun Indonesia telah mengeluarkan Taksonomi Hijau, tetapi menurutnya masih dibutuhkan lebih banyak metrik agar kredibel.
Lebih lanjut Jan merekomendasikan, langkah-langkah kunci yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kebijakan kredit untuk perubahan iklim diantaranya lembaga keuangan harus memahami standar internasional dan nasional yang ada, selain itu penting juga bagi bank untuk mendefinisikan komitmen terhadap perubahan iklim.
“Selanjutya, waspadai apa yang harus dan tidak boleh dilakukan dari komitmen nol-bersih, menganalisis portofolio bank dan menetapkan target sektor serta mengembangkan kebijakan perkreditan yang bertanggung jawab pada tiap sektor,” jelas Jan.
Di akhir sesi, Jan menjelaskan pada tahap implementasi, bank harus perlu memiliki instrumen untuk menerapkan kebijakan kredit yang bertanggung jawab atas perubahan iklim. Diantaranya adalah penerapan uji tuntas dalam rangka mengenal klien, membuat komitmen dengan klien dan menyetujui rencana transisi, menawarkan produk dan layanan yang disesuaikan (SLL).
“Selain itu, bank juga perlu mengakhiri hubungan pembiayaan dengan klien yang mengabaikan prinsip keuangan berkelanjutan dan menjelajahi hubungan dengan klien baru yang mungkin dibiayai oleh obligasi hijau. Serta melakukan pengukuran dan pelaporan melalui metodologi yang berbeda untuk mengukur kemajuan menuju net-zero PCAF dan PACTA, GRI dan TCFD, serta pelaporan keanekaragaman hayati PBAF,” jelas Jan.
Sementara itu, pembicara kedua, Bustar Maitar pada kesempatan ini banyak berbagi tentang praktek bisnis yang memperhatikan prinsip keberlanjutan dan selama ini dikerjakan oleh PT Kobumi. Menurutnya, agar bisa mendorong bank untuk beralih pada pembiayaan berkelanjutan adalah dengan memberikan alternatif pembiayaan pada bisnis berkelanjutan yang bersekala besar.
“Karena bank akan tanya, sekala pendanaanmu berapa besar. Kalu kecil 10 sampai 15 juta kita ga dianggap itu, tapi kalau kita bilang value saya 30 miliar, oke masuklah itu. Jadi itu yang namanya shifting yang harus terjadi, jadi kalau kita mau shifting itu, kita harus create value ekonomi yang besar. Itulah yang coba EcoNusa lakukan dengan PT Kobumi,” kata Bustar.
Maka, kata Bustar, perbankan tidak akan berhenti membiayai energi kotor kalau mereka tidak mendapatkan dampak ekonomi dari apa yang mereka lakukan. “Jadi apa yang kita butuhkan adalah transisi ekonomi, jadi dari ekonomi yang business as usual seperti sekarang ini menjadi ekonomi yang lebih rendah karbon. Rendah karbon itu artinya harus lebih hemat,” jelas Bustar.
Kunci dari keberhasilan mendorong keuangan berkelanjutan, menurut Bustar, kuncinya ada pada kebijakan bank yang berhenti mendanai industri yang ekstraktif, seperti batu bara, perluasan perkebunan kelapa sawit, atau penebangan hutan. “Itu yang harus berhenti dan ga bisa bilang sedikit ajalah. Sudah tidak bisa, kita sudah pada level tidak bisa mentoleransi lagi ada emisi baru karena itu akan merusak iklim kita,” tutup Bustar.