EKSPOR BENIH LOBSTER BUKAN LANGKAH YANG TEPAT BAGI PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN WARGA

Jakarta, 19 Desember 2019 – Rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka kran ekspor benih lobster bukan merupakan rencana kebijakan yang tepat. Ekspor benih lobster akan berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara yang lebih besar dari ekspor lobster. “Pemerintah harus melakukan fasilitasi budi daya benih lobster menjadi lobster di dalam negeri. Ekspor lobster dewasa akan lebih berpotensi meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjamin pengelolaan sumber daya perikanan lebih berkelanjutan”, tegas Ah Maftuchan, direktur eksekutif the PRAKARSA, lembaga riset kebijakan fiskal dan kebijakan sosial.

Praktik penyelundupan benih lobster tidak dapat menjadi alasan dibukanya kran ekspor benih lobster. Untuk mengatasi penyelundupan, pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum dengan lebih baik. “Kegiatan ekspor komoditas unggulan Indonesia selama ini belum tertata dengan baik sehingga belum berkontribusi bagi optimalisasi penerimaan negara. Praktik trade misinvoicing, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor seringkali digunakan oleh eksportir dan importir untuk menghindari bea masuk, mengeksploitasi insentif fiskal-nonfiskal dan mengeksploitasi celah hukum. Praktik ini menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan pajak dan penerimaan non-pajak”, tambah Maftuchan.

Dari kajian yang dilakukan the PRAKARSA (2019) “Mengungkap Aliran Keuangan Gelap Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia: Besaran dan Potensi Hilangnya Penerimaan Negara” menunjukkan bahwa praktik trade misinvoicing pada enam komoditas ekspor unggulan yaitu batu bara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi dan udang-udangan/krustacea telah mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar 11,1 Milyar USD (Rp 155 triliun) dan hilangnya potensi penerimaan negara dari royalti (dari praktik under-reported) sebesar 2,9 USD (Rp 40,6 triliun).

Hasil estimasi the PRAKARSA menunjukkan bahwa aliran keuangan gelap dengan pendekatan trade misinvoiving dengan menghitung selisih pencatatan perdagangan antara negara asal dan tujuan pada enam komoditas ekspor unggulan tersebut di atas pada rentang 1989-2017: aliran keuangan gelap masuk (dengan cara over invoicing) dari enam komoditas ekspor unggulan mencapai 101,49 milyar USD (Rp 1.420 triliun). Sedangkan aliran keuangan gelap keluar (dengan cara under invoicing) mencapai 40,58 milyar USD (Rp 567 triliun). Aliran keuangan gelap keluar (outflow) terbesar bersumber dari komoditas batu bara sebesar 19,64 milyar USD dan aliran keuangan gelap masuk (inflow) terbesar berasal dari komoditas minyak sawit yang nilainya mencapai mencapai 40,47 milyar USD.

“Potensi hilangnya penerimaan negara tersebut dihitung dari praktik under-invoicing pada kegiatan ekspor. Hal ini dilakukan dengan cara mencatat volume ekspor yang lebih rendah dibandingkan yang sebenarnya. Sehingga perusahaan membayar pajak pendapatan dan royalti lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan”, ujar Widya Kartika, ekonom di the PRAKARSA.

“Melihat besarnya aliran keuangan gelap baik masuk dan keluar yang menyebabkan negara kehilangan potensi pajak dan royalti, penting bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola impor-ekspor yang lebih baik. Membuka kran ekspor benih lobster merupakan langkah kontra produktif terhadap perbaikan tata kelola ekspor-impor dan bertentangan dengan agenda peningkatan value-added economy sumber daya kelautan yang kita miliki. Pemerintah juga perlu mengkaji secara mendalam insentif fiskal dan non-fiskal kegiatan ekspor dan impor untuk komoditas strategis. Pemerintah juga perlu melakukan audit nilai ekspor dan impor semua perusahaan sebagai mekanisme pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan eksportir-importir untuk mengatasi aliran keuangan gelap yang lebih komprehensif” tutup Ah Maftuchan, yang juga sebagai Co-coordinator Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA).

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.