Jika kita berada dalam suatu forum internasional yang membahas kesehatan rakyat di berbagai negara, tidak bisa dipungkiri bahwa rasa gregetan seringkali memenuhi diri. Betapa tidak, jika berbagai indikator minder dan status kesehatan seperti Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan apa lagi produktivitas bangsa; Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara setara. Yang dimaksud negara setara adalah negara berpendapatan menengah bawah (low middle income countries). Jika kita telah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2000, jelas sekali korelasi rendahnya kinerja/ status kesehatan bangsa berhubungan dengan rendahnya pendanaan atau belanja kesehatan Indonesia.
Karena sifat uncertainty, eksternalitas, dan informasi asimetrik yang tinggi maka pendanaan kesehatan tidak bisa diserahkan kepada masing-masing rumah tangga. Sebab, pendanaan kesehatan oleh rumah tangga (out of pocket) merupakan pendanaan yang paling regresif, paling memberatkan penduduk berpenghasilan rendah. Bahkan penduduk yang tidak kaya, dengan mudah jatuh miskin apabila ia terkena penyakit berat. Biaya berobat diatas Rp 50 juta sudah pasti memiskinkan penduduk yang bergaji Rp 20 juta sekalipun. Itulah sebabnya, tidak ada negara maju dan menengah yang membiarkan rakyatnya membayar sendiri-sendiri biaya berobat. Pendanaan kesehatan haruslah bersumber dari publik, yaitu didanai dari pajak penghasilan dan atau asuransi kesehatan sosial. Penduduk membayar pajak atau iuran jaminan kesehatan ketika sehat. Ketika sakit, mereka tidak perlu membayar. Namun, penduduk miskin, kurang mampu, bahkan penduduk bukan penerima upah (sektor informal) seringkali mendapat bantuan/subsidi untuk membayar iuran atau membayar biaya berobat. Tujuannya sederhana, terwujudnya ekuitas egaliter yaitu akses layanan kesehatan yang berkualitas memadai sesuai kebutuhan medis seseorang terlepas dari kondisi ekonomi orang tersebut. Itulah tujuan utama pendanaan publik, universal health coverage yang dunia telah berkomitmen mewujudkannya di tahun 2030.
Negara-negara maju telah lama mendanai layanan kesehatan dengan porsi 70- 85% bersumber dana publik. Sumber dana publik di Mungtai telah menembus 87%. Sementara Pemerintah Malaysia dalam dua dekade menanggung 50-60% belanja kesehatan rakyatnya. Pemerintah China yang di tahun 2000 sama dengan kita, kini telah menanggung 55% belanja kesehatan seluruh rakyatnya. Tetapi, Pemerintah Indonesia (termasuk belanja JKN/asuransi sosial) sejak 20 tahun silam hanya menanggung sekitar 40% belanja kesehatan seluruh rakyat, terendah. Belanja publik kesehatan Indonesia hanya US$ 36/kapita di tahun 2014, yang dikelola BPJSK hanya sekitar US$ 27 per kapita per tahun. Rata-rata belanja kesehatan total dunia per kapita di tahun yang sama mencapai US$ 1.061. Jangan heran jika kualitas dan produktifitas bangsa kita jauh tertinggal.
Meskipun masih setengah hati dan selalu berkilah bahwa Pemerintah tidak memiliki cukup fiskal, penduduk miskin dan tidak mampu sudah dijamin melalui subsidi iuran JKN. Belum memadai, tetapi telah membantu sebagian penduduk yang terkena bencana sakit. Masih banyak masalah JKN, khususnya bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti target yang tidak tepat, kartu JKN-KIS yang tidak akurat, dan informasi yang tidak memadai bagi peserta PBI. Disayangkan pula bahwa BPJS telah keliru menyebar informasi bahwa pemanfaatan (angka utilisasi) PBI rendah dengan menyajikan data klaim saja. Banyak peserta JKN, apalagi peserta PBI yang bermasalah dengan kartu JKN-KIS, yang belum atau tidak menggunakan haknya, tidak menggunakan kartu JKN-KIS untuk berobat. Dengan demikian, klaim yang masuk ke BPJS Kesehatan adalah bias. Penelitian evaluasi, khususnya untuk mengukur apakah tujuan ekuitas egaliter sudah semakin baik, perlu mengkaji data populasi/komunitas, bukan data klaim BPJS Kesehatan. Selain itu, kajian berbasis populasi dapat menggali informasi lebih banyak tentang pemahaman JKN dan berbagai kontributor lain yang berkaitan dengan ekuitas dan protektabilitas JKN.