Kondisi fiskal negara maju yang berdarah-darah, sebaliknya perusahaan multinasional (MNC) menyembunyikan keuntungan raksasa, telah menimbulkan kemarahan. Dikalkulasi aset keuangan Rp 230.000 triliun atau 250 kali ekonomi Indonesia disembunyikan di yurisdiksi ”surga pajak”.
Meski negara maju begitu geram, yang lebih dirugikan sebenarnya negara berkembang. Lokasi fisik beroperasinya MNC, terutama di sektor ekstraktif, komoditas atau buruh murah, ada di negara berkembang. Aset keuangan menguap dari Indonesia, misalnya, mencapai Rp 3.600 triliun; dua kali lipat APBN 2014.
Globalisasi telah merevolusikan rantai nilai global dan memfragmentasikan rantai produksi di banyak negara. Produksi lintas negara bisa membuat pajak berganda (double taxation) atau justru tanpa pajak (double non-taxation). Aturan pajak bersifat domestik dan berbeda antarnegara. Celah ini dapat dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Penyembunyian keuntungan mudah dilakukan, bahkan tanpa harus melanggar aturan. Adanya Entitas Bertujuan Khusus (Special Vehicle Entity) di negara surga pajak, yaitu entitas yang bahkan bisa tanpa kantor fisik atau karyawan tetapi menjalankan investasi raksasa, makin memfasilitasi hal ini. Dari data yang ada, tren terpisahnya lokasi fisik wilayah usaha beroperasi dan pelaporan keuntungan untuk pengelakan pajak kini makin meningkat.
Longsor pajak dunia
Negara maju yang bergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) sangat geram atas perilaku perusahaan yang menghindari pajak. Namun, mendeteksi manipulasi pajak MNC tidaklah mudah karena sekitar 70 persen transaksi adalah di antara perusahaan terafiliasi sendiri (intragroup).
Mekanisme transfer mispricing intragroup selama 2005-2007 hanya dari negara non-Uni Eropa ke Amerika dan Uni Eropa dikalkulasi mencapai Rp 12.000 triliun. Starbucks, Apple, Google, dan Amazon adalah contoh perusahaan terkenal yang ternyata melakukan penggelapan pajak miliaran dollar. Laporan OECD Addressing Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menjabarkan modus MNC melakukan pengelakan pajak. Rencana aksi mengatasi BEPS kini juga menjadi prioritas negara G-20.
Pertukaran informasi secara otomatis antarnegara mengenai informasi pajak dan rekening bank disepakati dilakukan untuk menelisik praktik curang pemanfaatan celah aturan lintas negara. Pemerintah AS bahkan mengeluarkan aturan unilateral yang mengharuskan lembaga keuangan dan non-keuangan negara lain melaporkan rekening milik warganya. Aturan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) ini bahkan mampu mematahkan kerahasiaan bank Swiss dan Singapura, wilayah terkenal ”surga pajak”.
Tren dunia memperbaiki asimetri informasi untuk mengatasi pengelakan pajak tersebut belum tentu bisa dimanfaatkan optimal oleh Indonesia, mengingat lemahnya kapasitas institusi pajak di negeri ini. Perbaikan asimetri informasi perlu pula dibarengi dengan peningkatan skill, pengetahuan, sistem, teknologi, dan kelembagaan memanfaatkan informasi melimpah. Indikasi lemahnya kapasitas setidaknya terlihat dari ketidakmampuan mendeteksi penggelapan pajak ”superjumbo” lebih dari Rp 1 triliun kasus Asian Agri.
Dharmasaputra (2013) memperlihatkan modus ”kriminal biasa” manipulasi pajak Asian Agri melalui pembuatan biaya fiktif, manipulasi harga, dan transaksi lindung nilai fiktif. Dana manipulasi ini lalu dikirim ke wilayah ”surga pajak”, seperti Singapura, Hongkong, Mauritius, Makao, dan Kepulauan Virgin Britania Raya. Terbongkarnya megaskandal pajak Asian Agri ini karena pengungkap kasus (whistle blower), bukan dari pendeteksian aparat pajak. Bila tak ada pengungkap kasus, penggelapan pajak sebesar ”gajah” ini tak akan pernah terungkap.
Pertanyaannya, lalu bagaimana aparat pajak bisa ”mengendus” kecurangan pajak yang lebih canggih, yaitu menghindari pajak tanpa melanggar dengan memanfaatkan celah aturan di dalam maupun luar negeri? Kejahatan kerah putih penggelapan pajak bukanlah kriminal biasa. Ia ibarat menangkap belut dalam drum yang penuh pelumas.
Reformasi institusi pajak
Secara kelembagaan, kewenangan institusi pajak terbatas karena terbentur aturan kerahasiaan bank. Ini mengakibatkan kesesuaian kekayaan nasabah bank dengan pajak yang dibayarkan tidak bisa dipastikan. Meski menyadari hal ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tak bisa berbuat banyak karena kewenangan terbatas.
Kerahasiaan bank kini sudah ditinggalkan di dunia. Bahkan, dengan adanya FATCA, institusi pajak Amerika (IRS) mendapatkan data keuangan warganya di negara lain, termasuk Indonesia. Bila tak ada halangan, FATCA dilaksanakan di Indonesia bulan Juli tahun ini.
Pemberlakuan FATCA sebenarnya ironis bagi Indonesia. Sebab, pemerintah asing leluasa mengakses data keuangan di Indonesia, tetapi Pemerintah Indonesia sendiri (DJP) tidak bisa. UU Perbankan seharusnya direvisi agar institusi pajak diberi akses untuk penggalian pajak dan penagihan. Kini sudah bukan zamannya lagi di mana UU Perbankan justru menjadi ”tameng” penggelap pajak.
Dalam kampanye Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan rasio pajak terhadap produk domestik bruto naik dari 12 persen jadi 19 persen. Akan tetapi, sampai dua periode pemerintahannya, rasio pajak tak beranjak di kisaran 12 persen. Kini capres Jokowi dan Prabowo menargetkan meningkatkan rasio pajak 16 persen. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi konservatif 5 persen per tahun saja, penerimaan pajak 2019 berarti mencapai Rp 2.000 triliun.
Bila kedua capres serius menargetkan penerimaan dua kali lipat selama lima tahun, sudah waktunya institusi pajak jadi kementerian tersendiri. Tren dunia memperlihatkan, institusi pajak yang selama ini ”terbonsai” di bawah Kementerian Keuangan makin ditinggalkan. Namun, peningkatan kredibilitas lembaga, perluasan kewenangan, dan fokus perlu dibarengi pengawasan dan hukuman yang kuat. Jangan pernah ada Gayus, Dhana, dan Hadi Poernomo ”baru” muncul lagi di republik ini.
_______________
Setyo Budiantoro
Penulis adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Koordinator Global Alliance for Tax Justice Asia Tenggara.
Published: Kompas, 7 Juni 2014