Sugeng Bahagijo, editor
Pengantar : Rizal Ramli
Penerbit ; PT. Pustaka LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa
ISBN : 979-3330-60-0
xviii + 381 hlm; 15,5×23 cm.
Cetakan Pertama, Desember 2006
Pengantar
Pengalaman Buruk Indonesia di Bawah IMF
Oleh : Rizal Ramli
Mantan Menteri coordinator Bidang Perekonomian
dan Menteri Keuangan Kabinet Persatuan Republik Indonesia
Ketika Indonesia memutuskan untuk mengikuti program International Monetary Fund ( IMF ) bulan Oktober 1997, saya sempat menulis artikel yang banyak di kutip media massa waktu itu bahwa mengundang IMF justru akan menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. Saat itu, yang diulang kembali dalam sidang pleno “Exit Policy“ di acara Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-16, di Batu-Malang pertengahan Juli 2003, saya mengandaikan bahwa IMF bukan “Dewa Penolong“ tetapi “Dewa Amputasi“ bagi perekonomian Indonesia.
Selain gagal menyembuhkan penyakit, dokter yang di minta tolong juga melakukan berbagi amputasi yang tidak perlu dan membebankan biaya kegagalan kepada pasien . International Monetary Fund telah memberikan “Obat “ yang salah, sehingga membuat perekonomian Indonesia benar-benar terpuruk.
Namun demikian, kekhawatiran saya itu sama sekali tidak digubris, bahkan sejumlah teknokrat dan ekonom senior saat itu (Oktober 1997) termasuk Widjojo Nitisastro, tetap memberi nasehat dan saran kepada Presiden Soeharto untuk segera meminta pertolongan IMF. Perkiraan saya terbukti, keterlibatan IMF justru membuat krisis ekonomi di Indonesia parah dan mendalam. Akibat salah diagnosis dan salah obat membuat pertumbuhan eokonomi Indonesia tahun 1997 minus 13 persen. Tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi memang akan tetap terjadi di Indonesia, namun skalanya relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara minus 2% sampai 0%) pada 1998. Namun Keterlibatan IMF mengakibatkan ekonomi Indonesia anjlok luar biasa, -12,8% pada tahun 1998. Biaya sosial ekonomi krisis tersebut adalah kerusuhan sosial Mei 1998 (IMF-provoked riots), peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta , biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 triliun serta tambahan beban utang puluhan milliar dolar yang masih terasa hingga saat ini.
Salah Obat IMF di Indonesia dapat dilihat dari tiga tahap kebijakan sejak bulan Oktober 1997. Pada tahap pertama, kebijakan yang di sarankan IMF untuk melakukan stabilisasi keuangan justru malah menciptakan de-stabilisasi finasial dan kebangkrutan. Ketidakstabilan tersebut terutama dipicu oleh kebijakan moneter superketat (tight money policy). Tingkat bunga antar bank meroket dari 20% menjadi 300% pada kuartal ketiga Tahun 1997, terburuk sepanjang sejarah perekonomian Indonesia . Kebijakan moneter tersebut menciptakan liquidity crunchdalam perbankan Indonesia , karena banyak bank mengandalkan sebagian likuiditasnya dari pasar uang antarbank. Kesalahan itu dilanjutkan IMF dengan likuidasi 16 bank tanpa persiapan yang matang pada bulan November 1997. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan domestik menjadi runtuh dan segera memicu capital outflow sekitar 5 milliar dolar AS. Hal itu membuat nilai rupiah yang sudah melemah menjadi anjlok lagi. Depresiasi rupiah yang tak terkendali tersebut dimungkinkan setelah beberapa bulan sebelumnya (14 Agustus 1997) kurs rupiah diambangkan (free float). Pengambangan justru kian memicucapital outflow yang mendorong nilai tukar rupiah makin melemah. Akibatnya, dunia usaha menerima pukulan ganda dari depresiasi rupiah dan tingkat bunga supere tinggi. Perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan likuiditas diikuti oleh kebangkrutan massal dan belasan juta pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tahap berikutnya adalah transformasi atau pengalihan utang swasta menjadi utang pubik. Saran-saran IMF telah membuat dan menciptakan utang Pemerintah Republik Indonesia meningkat luar biasa besar, khususnya utang domestik, yang sebelum ditangani IMF jumlahnya nol. Sebelum Krisis 1997, total utang Indonesia mencapai 136 miliar dolar AS yang terdiri dari utang pemerintah sebesar 54 Miliar dollar AS dan 82 Miliar dolar AS utang swasta. Namun pada tahun 2001, setelah melalui program rekapitulasi dan berbagai penjualan junk bond, utang luar negeri pemerintah Indonesia meningkat menjadi US$ 74 milliar ditambah utang domestik sebesar Rp. 647 Triliun (sekita 65 milliar dolar AS) sedangkan utang swasta setelah krisis berkurang menjadi US$ 67 milliar karena percepatan pembayaran maupun restrukturisasi. Jumlah uatang Indonesia saat ini sedah melebihi besarnya PDB Indonesia yang hanya sekitar US$ 150 milliar. Sebagai akibat dari krisis financial dan salah obat IMF, utang Indonesia bertambah dua kali lipat selama empat tahun masa krisis.
Pada tahap ketiga, berbagai akibat salah obat IMF mulai berdampak luang pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Untuk tahun 2005 saja, menurut rencana pos pembayaran utang dalam APBN mencapai sekitar 13 milliar dolar AS (sekitar Rp 160 trilliun), baik untuk pembayaran utang luar negeri maupun utang dalam negeri . Anggaran untuk pembayaran utang tersebut setarara dengan tiga kali gaji seluruh pegawai negeri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau lebih dari delapan kali anggaran untuk pendidikan. Dengan beban APBN yang sangat besar tersebut, pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan teramat sulit. Untuk menurunkan defisit, terpaksa diambil berbagai kebijakan yang sangat membebani publik. Selain menaikkan pajak, tarif dasar listrik, dan harga BBM, pemerintah juga ‘ditekan’ untuk menjual secepatnya asset-asset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan harga murah. Kasus BCA merupakan contoh menarik. Dengan target harga penjualan sekitar 5 trilliun rupiah, APBN tetap akan menanggung beban bunga rekapitalisasi BCA antara 7-8 trilliun rupiah dari tahun ke tahun jika obligasi rekapnya tidak ditarik.
Singkat kata, kebijakan Mafia Ekonom Orde Baru yang didukung IMF dengan mengandalkan utang ketimbang investasi dalam pembangunan telah menjerat ekonomi Indonesia ke jebakan utang (debt trap) yang lebih dalam. Akibat resep-resep IMF yang salah dan dipaksakan kepada Indonesia, negara mengambil alih beban yang semestinya dipikul oleh sektor swasta akibat kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai jumlah 144 Triliun Rupiah maupun rekapitalisasi perbankan. Bahkan kasus BLBI tecatat sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia. International Monetary Fund sendiri dalam laporan internalnya pada awal 1999, mengakui telah melakukan sejumlah kesalahan dalam menangani krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, sehingga sejumlah negara termasuk Indonesia harus menjalani program yang ketat. Sayangnya kendati si pasien sudah terlanjur koma, sang dokter masih pura-pura tidak tahu bahkan mengelak dari tanggung jawab profesionalnya. Padahal dalam dunia kedokteran, pasien yang salah obat berhak meminta kompensasi finansial kepada dokter yang melakukan malpraktek.
Walau demikian, sejumlah kalangan terus menerus menghembuskan mitos untuk tetap mempertahankan ketergantungan Indonesia pada IMF. Akibat terjerat krisis berkepanjangan, mau tidak mau perekonomian Indonesia tergantung pada IMF. Mitos pertama adalah bahwa IMF akan menarik dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia, namun demikian setelah belasan kali letter of intent(LoI) dan delapan tahun di bawah pengawasan IMF , termasuk Post Program Monitoring, tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia belum juga pulih. Hambatan utama investasi bukan terletak pada ada tidaknya IMF, tetapi lebih pada ketidakstabilan politik, tiadanya penegakan hukum dan prosedur pajak, serta jejaring birokrasi yang ruwet. Jika hal-hal tersebut dipenuhi dan dibenahi, kepecayaan investor pasti akan meningkat tanpa perlu melibatkan IMF.
Mitos kedua adalah bahwa utang utang kepada IMF akan segera diikuti oleh mengalir masuknya modal swasta ke Indonesia. Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya. Sejak delapan tahun terakhir telah terjadi decoupling antara aliran modal multilateral dengan aliran modal swasta ke Indonesia: semakin banyak utang IMF, semakin sedikit modal yang masuk. Mitos ketiga adalah bahwa IMF akan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah. Selama delapan tahun terakhir, mitos tersebut betul-betul sudah menjadi bahan lelucon karena rupiah tetap gonjang-ganjing terutama karena perubahan faktor eksternal dan dinamika politik dalam negeri. Justru yang terjadi sebaliknya, sejak oktober 1997, setiap kali tim IMF datang ke Jakarta, nilai rupiah terus menerus merosot. Dalam setiap kesempatan seperti itu, Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi puluhan juta dolar AS untuk memperkuat rupiah dan/atau menaikan bunga.
Berbagai mitos tersebut terus-menerus dikembangkan sehingga masyarakat Indonesia terkecoh bahwa tanpa IMF Indonesia akan bangkrut dan hancur berantakan. Sementara negara-negara lain, seperti Malaysia misalnya, mampu mengatasi dan keluar dari krisis tanpa perlu berutang kepada IMF. Sepuluh negara pengutang IMF, termasuk Rusia, Brazil dan Argentina mampu melunasi utang kepada IMF sekaligus sejak tahun lalu. Negara-negara tersebut terbukti tidak hancur berantakan bahkan bisa bangkit lebih cepat. Akibat percepatan pembayaran utang negara-negara tersebut, portofolio utang IMF mencapai titik terendah sejak tahun 1980-an hanya tinggal US$ 35 Milliar, sehinggan lembaga keuangan internasional ini diperkirakan akan mengalami kerugian sebesar US$ 600 juta dan terpaksa harus mengurangi jumlah pegawainya.
Sejak tahun 2002, saya dan sejumlah kawan secara konsisten menyerukan agar utang kepada IMF segera dibayar. Percepatan pembayaran utang tersebut sangat perlu dilakukan karena utang kepada IMF hanya berfungsi sebagai tambahan cadangan devisa dan sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk pembangunan. Bunga sisa utang IMF sebesar 7,51 milliar dolar AS adalah 4,3 persen. Nilai bunga utang ini ekuivalen dengan US$323 juta/tahun atau 8,3 Milliar Rupiah per-hari. Uang sebesar itu dapat dipergunakan untuk memberi makan sekitar 1 juta orang Indonesia dua kali sehari berupa nasi dan lauk-pauk sederhana yang dibeli dari warung tegal (8.300 rupiah).
Bahwasannya IMF kerap melakukan salah diagnosa dan karenanya perlu direformasi, dilontarkan oleh banyak pihak. Kongres Amerika Serikat misalnya, mendesak didirikannya komisi khusus yang dipimpin oleh Professor Alan Meltzer dari Universitas Carnegie Melon. Selain mengevaluasi kinerja IMF, komisi itu juga melontarkan kritik sangat tajam dan merekomendasikan agar IMF direformasi. Tidak mengherankan karena selain memberi saran dalam bidang moneter yang berorientasi pada kebijakan fiskal ketat, IMF juga selalu menganjukan kepada negara pengutang untuk melakukan privatisasi”kurang senonoh”, liberalisasi perdangangan sektor finansial, dan deregulasi berbagai kebijakan. Untuk mendorong rekomendasi-rekomendari tersebut, IMF senatiasa didukung oleh Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO) dengan berbagai proyek, persyaratan dan peraturan.
Buku ini digarisbawahi pentingnya reformasi IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya agar kebijakan dan program yang dilahirkan tidak secara sepihak memperkuat posisi negara kaya yang melenggangkan pengisapan negara kaya terhadap negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini selain membeberkan secara rinci dampak deregulasi privatisasi dan liberalisasi juga membedah bagaimana gagasan-gagasan tersebut berkembang subur baik di lembaga-lembaga keuangan internasional maupun di kalangan elite Indonesia.
Buku ini memperlihatkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengambilan keputusan di lembaga keuangan internasional dan berbagai kebijakan yang direkomendasikan mereka kepada negara-negara berkembang. Ada masalah besar dalam tatakelola (governance) Lembaga- Lembaga Multilateral tersebut: Realita ketimpangan luar biasa besar antara negara kaya dan negara berkembang, yang membuat berbagai kebijakan dan program yang diputuskan selalu menguntungkan negara-negara kaya.
Arti penting buku ini adalah menerangkan kepada publik tentang misteri privatisasi, liberalisasi perdagangan dan deregulasi sektor finasial. Buku ini berusaha menjawab pertanyaan seputar : (a) Benarkah privatisasi air dan listrik menguntungkan warga Negara? Siapa sebenarnya yang memutuskan kebijakan itu? Berdasarkan pertimbangan apa? (b) Mengapa Indonesia dibanjiri gula dan beras impor? Siapa sesungguhnya yang memutuskan kebijakan itu? (c) Mengapa pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan semakin mahal dan buruk? Kemana uang hasil ekspor dan pajak rakyat Indonesia digunakan? Siapa saja yang mengambil keputusan itu?
Metode penulisan buku ini, yang menggabungkan dokumentasi pengalaman dan refleksi di kalangan organisasi nonpemerintah (Ornop) serta individu yang bekerja di pemerintahan dan hasil survey, menyebabkan data analisis dan rekomendasi buku ini sulit untuk dibantah.
Selamat kepada Perkumpulan Prakarsa yang berhasil membedah masalah tatakelola lembaga keuangan internasional yang selama ini tidak banyak diketahui oleh publik.