Gurihnya Pungutan Liar di Bumi Etam

Demi melancarkan bisnis, para pengusaha batu bara di Kalimantan Timur rajin memberikan setoran ke pejabat pemerintah. Bupati Kutai Kertanegara terciduk.

Bisnis batu bara yang marak di Kalimantan Timur terjalin dalam hubungan yang ‘mesra’ antara pengusaha dan aparat negara. Pejabat pemerintah daerah kerap mendapat keuntungan berupa setoran tatkala mengutip dari pengusaha yang hendak membereskan urusan mereka, dari melancarkan perizinan hingga mengawasi kerja korporasi.

Terkuaknya uang pelicin pengusaha batu bara kepada pejabat pemerintah daerah terungkap dalam sidang kasus korupsi mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik gratifikasi tersebut saat Rita menjabat bupati dua periode, 2010 – 2015 dan 2016 – 2021.

Pada Juli tahun lalu, hakim memvonis Rita dengan hukuman 10 tahun penjara karena dianggap menerima suap Rp 110 miliar. Salah satu gratifikasi berasal dari proses pengurusan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan izin lingkungan.

Para pengusaha mendapatkan izin dengan biaya khusus melalui perusahaan konsultan. Pihak ketiga ini lalu menyerahkan setoran ke pejabat pemerintah daerah. Bila tak ada setoran, izin tak akan keluar.


Mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (21/2/2018).  (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Direktur Green Borneo Consultants, Basori Alwi, menjadi saksi saat pengadilan Rita tahun lalu. Dia menyatakan setiap perusahaan mesti menyiapkan Rp 60 juta untuk mendapat izin Amdal. Uang bawah meja ini untuk tahap awal penguru¬san sebesar Rp 10 juta. Sedangkan Rp 50 juta diserahkan ketika surat Amdal telah diteken bupati.

Tak hanya itu, setoran khusus diperlukan dalam proses izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan izin Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Tarifnya Rp 35 juta per perusahaan.

Menurut Basori, pungutan itu dikenakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Beleid ini mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup memiliki izin Amdal dan UKL-UPL.

Sebelum aturan tersebut terbit, setoran untuk pengurusan izin Amdal berkisar Rp 5-10 juta pada periode 2010-2012. “Sebelum 2010 tak ada tarif,” kata Basori dalam berkas tuntutan yang diperoleh Katadata.co.id.

Sejak PP Nomor 27 Tahun 2012 terbit, Basori mengurus Amdal untuk 26 perusahaan batu bara. “Saya pernah menyerahkan uang Rp 1,3 miliar untuk pengurusan izin Amdal,” ujarnya. Karena saling membutuhkan, hubungan simbiosis mutualisme ini terus terbangun.


Kantor Green Borneo Consultan di Perumahan Taman Sari Grand Samarinda, Kalimantan Timur (17/1/2019).(Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Salah satu perusahaan yang mengurus izin Amdal melalui Basori yakni PT Rinjani Kertanegara. Melalui kelincahan Basori, perusahaan yang pailit sejak akhir 2017 karena terbelit gagal bayar utang tersebut berhasil mendapatkan Amdal.

Padahal masyarakat sekitar pada 2016 lalu protes atas debu batu bara yang keluar dari konveyor milik PT Rinjani. Debu dan suara bising mengganggu masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi perusahaan di Desa Bakungan itu.

Basori mengatakan uang pengurusan Amdal Rp 50 juta per perusahaan dia serahkan pada saat mengambil surat keputusan yang ditandatangani Rita. “Saya serahkan kepada petugas di Badan Lingkungan Kutai Kertanegara,” kata Basori.

Kesaksian Basori ini diperkuat oleh Dosen Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda Hamsyin yang juga komisaris di perusahaan konsultan PT Agronusa Sartika. Selama 2013-2017, Hamsyin mengurus tujuh Amdal dengan pungutan Rp 50 juta per perusahaan.

Praktik kutip ilegal ini dibenarkan Kepala Seksi Kajian Dampak Lingkungan Dinas LHK Kukar, Aji Sayid Muhammad Aji. Dia mengungkapkan rutin menyetor uang untuk bupati sejak 2014.

Sepanjang 2014-2017, misalnya, dia mengumpulkan sekitar Rp 2,3 miliar yang diserahkan kepada Rita. Ali menyebutnya sebagai uang terima kasih kepada Rita, hal yang dianggap lumrah sebagai tradisi. “Tahunya dari pejabat sebelum saya dan dari konsultan-konsultan yang sering mengurus izin,” kata Aji.

Sumber: Laporan Pengadilan Tipikor

Aji mengatakan tidak secara langsung menyerahkan uang kepada Rita, namun melalui tangan kanannya yang dikenal dengan sebutan Tim 11. Nama-nama di tim ini yang disebut-sebut dalam persidangan yakni Suroto dan Abrianto Amin.

Keterangan Aji sinkron dengan kesaksian ajudan Rita yang bernama Ibrahim. Dia mengaku sering mendapatkan amplop berisi uang dari beberapa orang tangan kanan Rita. Namun, Ibrahim tak mengetahui jumlahnya.

Kuasa hukum Rita, Noval El Farveisa mengatakan selama persidangan tak ada saksi yang menyebutkan Rita memerintahkan dan menerima uang pungutan dalam pengurusan izin Amdal dan lingkungan.

“Di persidangan tak ada saksi yang menyebutkan Rita yang memberikan perintah dan menerima secara langsung,” kata Noval ketika dihubungi beberapa waktu lalu.  

Noval menilai informasi yang menyebutkan Rita memperoleh uang hanya berdasarkan keterangan dari ajudannya saja.

Namun Noval membenarkan bila pungutan ke perusahaan batu bara melalui konsultan sebagai praktik lama, bahkan sebelum di masa Rita. “Jadi itu kebiasaan lama yang mereka jalankan, dari kepala dinas yang lama,” kata dia.

Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan setoran untuk pengurusan Amdal dan izin lingkungan lainnya merupakan pungutan liar karena tak ada aturan secara khusus. Kalau pun ada pungutan resmi seharusnya masuk ke kas daerah.

Rupang mencurigai dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di masa Rita tak menutup kemungkinan terjadi suap. “Rita merupakan bupati yang paling banyak mengeluarkan IUP, mencapai 200-an,” kata Rupang.

Salah seorang pengusaha batu bara, Akmal Muzakir, bukan nama sebenarnya mengatakan setelah pengadilan kasus korupsi Rita, pungutan saat mengurus izin terus berjalan. “Setoran tetap ada, tapi jumlahnya tidak sebesar dulu,” kata dia.

Setoran tak hanya dalam mengurus izin. Para pengusaha batu bara menyerahkan upeti ke aparat keamanan, baik oleh pengusaha resmi maupun illegal. “Setoran diserahkan ke penghubung aparat, nanti direspons dengan pengiriman satu atau dua personel untuk rutin menjaga lokasi tambang,” kata salah seorang konsultan.

Terkait fenomena pungutan liar, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menyatakan perlu perhatian serius dari pemerintah. Berbagai setoran, kata dia, diduga berlangsung di berbagai sektor dan membuat biaya perusahaan membengkak. Untuk menekannya, banyak perusahaan kemudian menutupi dengan berbagai cara, termasuk memanipulasi perdagangan batu bara.

Sumber Tulisan: Katadata

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.