Jakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA lembaga penelitian dan advokasi kebijakan menyelenggarakan PRAKARSA Talk ke 13 dengan mengusung tema “Delapan Tahun Program Jaminan Sosial di Indonesia: Refleksi Perlindungan Kesejahteraan Pekerja di Hari Tua”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Selasa (14/11) lalu, mendiskusikan permasalahan lambannya peningkatan jumlah kepesertaan di program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, sebagai dua program di Indonesia yang dirancang untuk memberikan jaminan pendapatan selama masa tua. Sebagai dampaknya, jumlah Angkatan kerja yang telah memiliki jaminan hari tua kurang dari 15%.
“Untuk saat ini, hanya 14,8% penduduk lansia di Indonesia menerima jaminan pensiun. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan 3 terbawah negara dengan jumlah penerima pensiun di wilayah ASEAN, angka ini di atas Laos (6,3%) dan Kamboja (0,1%). Sayangnya, hanya 6% lansia umur 65 tahun+ yang akan menerima jaminan pensiun di tahun 2050” ungkap Ippei Tsuruga, Program Manager Perlindungan Sosial ILO Indonesia & Timor Leste.
Meskipun begitu, jumlah peserta jaminan pensiun di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2017, namun tergolong lamban. “Jumlah peserta aktif peserta jaminan pensiun di Indonesia terus mengalami peningkatan meskipun lamban, yakni: 10,63 juta jiwa (2017) menjadi 13,65 juta jiwa (2022),” kata Hendra Nopriansyah, Deputi Perencanaan Strategis dan Transformasi, BPJS Ketenagakerjaan Indonesia.
Selanjutnya, Nopri juga mengungkapkan bahwa pengelolaan dana pensiun dalam BPJS Ketenagakerjaan terdapat pada beberapa aspek. “Pada aspek kepesertaan, Indonesia memiliki jumlah pekerja di sektor informal yang cukup tinggi, yang selama masa covid-19 banyak peserta jaminan pensiun beralih kerja di sektor informal, yang mana skema kebijakan di Indonesia masih belum membolehkan pekerja informal bergabung ke jaminan pensiun. Selain itu, jumlah manfaat yang akan didapatkan juga masih rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita, hal tersebut membuat banyak kelas menengah atau ke atas di Indonesia tidak bergabung ke skema jaminan pensiun yang ada saat ini,” ujar Nopri.
Ada beberapa faktor yang membuat banyak orang di Indonesia enggan untuk bergabung ke program jaminan pensiun. “Terdapat beberapa permasalahan seperti kata BPJS masih banyak diasosiasikan dengan aspek Kesehatan bukan pendapatan di hari tua, pemahaman terhadap risiko dan financial losses di masyarakat Indonesia yang masih rendah, anggapan anak sebagai investasi hari tua, dan masih rendahnya kesadaran kolektif pekerja formal untuk mendaftarkan diri ke jaminan pensiun, hal-hal tersebut membuat banyak masyarakat Indonesia enggan untuk daftar ke jaminan pension,” jelas Victoria Fanggidae, Deputi Direktur The PRAKARSA.
Dampak minimnya cakupan pensiun pada generasi lanjut usia adalah munculnya fenomena kemiskinan dan bekerja di hari tua pada kelompok lanjut usia. “Kalau jangkauan pensiun hanya 6%, maka dapat dibayangkan akan banyak sekali lansia miskin nantinya,” ungkap Victoria atau yang biasa disapa Ria.
Beberapa rekomendasi diusulkan “Salah satu opsi yang kami buat adalah Indonesia menyelenggarakan Jaminan Pensiun Nasional, yakni manfaat pensiun sebesar 1 juta rupiah per bulan dengan catatan kontribusi premi adalah 4% dari gaji di tahun 2026, dinaikkan 1% setiap tiga tahun sampai naik sebesar 8% di tahun 2038. Desain ini dapat meliputi 20 juta penduduk lansia di Indonesia di tahun pertama dan negara perlu menggelontorkan 118 triliun rupiah,” ungkap Ippei. Selain kenaikan iuran dan perbaikan sistem. “Jaminan pensiun perlu diperbaiki melalui penerapan jaminan pensiun universal, perbaikan tata Kelola dana jaminan sosial, dan pemerintah perlu menertibkan perusahaan yang enggan mendaftarkan karyawannya dalam sistem jaminan pension,” tutup Ria.