Perkumpulan Prakarsa melaporkan hasil riset penelitan perdagangan rokok ilegal di Indonesia.
Dari hasil survei respresentatif secara nasional terhadap 1.440 perokok di 6 kabupaten berbeda, yakni Malang Lampung Selatan, Tanggerang, Gowa, Bandung, dan Banyumas.
Dari ke-6 kabupaten itu, Prakarsa mengumpulkan 1.201 bungkus rokok untuk diidentifikasi lebih lanjut apakah ilegal atau tidak. Peneliti Perkumpulan Prakasa, Rahmanda Muhammad Thaariq mengatakan, dalam studi riset ini, standar kriteria bungkus rokok ilegal dari 1.201 yang di identifikasi yakni tidak adanya pita cukai serta peringatan kesehatan di bungkus rokok tersebut.
Dalam temuan itu, terdapat sebanyak 20 bungkus yang teridentifikasi rokok ilegal, sedangkan sisanya 1.181 legal.
“Penelitian ini menemukan bahwa jumlah rokok ilegal di Indonesia sangat kecil. Yakni kurang dari 2 persen,” kata dia dalam paparan Launching Riset Perdagangan Rokok Ilegal, di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Rahmanda mengatakan, dari sedikit responden yang mengkonsumsi rokok ilegal juga ditemukan alasan harga yang rendah menjadi faktor utama kenapa membelinya. Sebanyak 85 beralasan mengenai harga, kemudian 10 persen faktor rasa, dan 5 persennya karena merek.
“20 persen responden juga menyatakan bahwa mereka mengkonsumsi rokok ilegal setidaknya satu kali,” kata dia.
Rahmanda menambahkan, dari total responden yang dilakukan Prakarsa, sekitar 43 persen perokok yang telah konsumsi rokok ilegal memiliki penghasilan kurang dari Rp 1,5 juta per bulan.
Sementara, hanya 1,8 persen saja perokok yang mengkonsumsi rokok ilegal memiliki penghasilan lebih dari Rp 5 juta per bulan.
“Walaupun orang-orang dengan pendapatan lebih rendah cenderung untuk merokok rokok ilegal, namun konsumsi rokok ilegal bukanlah perilaku jangka panjang,” kata dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Liputan6