Pemerintah telah menargetkan angka kemiskinan ekstrem mencapai nol persen pada tahun 2024. Presiden Joko Widodo menegaskan target tersebut pada 18 November 2021. Target 0% kemiskinan ekstrem pada 2024 tentu saja sangat ambisius. Meskipun demikian, target ini harus didukung oleh semua pihak karena kemiskinan ekstrem sudah seharusnya tidak dialami oleh warga Indonesia.

Pemerintah harus melakukan berbagai cara agar target tersebut dapat tercapai antara lain melakukan mobilisasi pendanaan yang memadai, meningkatkan efektifitas-akuntabilitas program dan anggaran, dan memperkuat pendekatan partisipatif multipihak.

Tantangan yang dihadapi cukup kompleks. Dampak pandemi Covid-19 telah mengakibatkan angka kemiskinan mengalami kenaikan secara nasional dari 9,54% pada Maret 2022 menjadi 9,57% pada September 2022 berdasarkan data BPS. Upaya pemulihan kondisi sosial-ekonomi-kesehatan pasca pandemi Covid-19 juga masih membutuhkan pandanaan yang besar. Pada tahun 2024 akan berlangsung Pemilihan Umum secara serentak, tentu saja sejak tahun 2023 akan terjadi kontestasi politik sehingga dapat mempengaruhi fokus kerja pemerintah pusat dan daerah. Tantangan tersebut harus diantisipasi pemerintah dengan menjaga fokus mengejar target pembangunan dan melakukan pendekatan yang multipihak dan multidimensi sehingga target 0% kemiskinan ekstrem dapat dicapai.

Pendekatan multipihak dan multidimensi diyakini akan lebih berdampak pada peningkatan efektifitas penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas kesejahteraan. Melihat atau mengukur kemiskinan dari satu sisi pendapatan saja akan mengakibatkan hilangnya kemampuan kita untuk melihat faktor-faktor kemiskinan yang kompleks. Laporan Indeks Kemiskinan Multidimensi global yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) University of Oxford pada Oktober 2022 menunjukkan bahwa 50% orang miskin di dunia mengalami kemiskinan karena sulitnya akses terhadap listrik dan bahan bakar bersih untuk memasak. Dengan memasukkan “new poverty profiles” dalam melihat kemiskinan, maka dapat dilakukan terobosan-terobosan pendekatan dalam penurunan kemiskinan yang aspeknya saling terkait.

Pengukuran kemiskinan multidimensi ini dilakukan untuk memberikan tawaran alternatif dalam mengurai permasalahan kemiskinan di Indonesia. Sehingga pengukuran ini dapat melengkapi hasil pengukuran kemiskinan moneter yang masih digunakan oileh pemerintah Indonesia saat ini. Pengukuran kemiskinan moneter dan non-moneter ini diperlukan juga untuk memberikan informasi yang lebih komprehensif dalam mempengaruhi formulasi kebijakan untuk mengatasi deprivasi dan kebutuhan yang dihadapi oleh penduduk miskin di Indonesia. Terlebih untuk menangani kemiskinan ekstrem dari 2,4% di tahun 2022 menjadi 0% di tahun 2024.

Kebijakan dan program penanganan kemiskinan ekstrem perlu dibuat lebih komprehensif dan menjawab secara nyata kebutuhan yang diperlukan penduduk miskin ekstrem di masing-masing daerah. Hal ini sejalan dengan dimensi non-pendapatan dalam pendekatan IKM yang bersifat tailored atau dapat dikembangkan berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing. Sehingga pada saat pemerintah merancang dan mengimplementasikan kebijakan intervensi atau program penanganan kemiskinan menjadi lebih tepat sasaran dan mengurangi exclusion error yang mungkin terjadi.

Sejak tahun 2012 PRAKARSA sudah melakukan penghitungan indeks kemiskinan multidimensi (IKM) menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Telah terbit dua laporan penelitian IKM 2012-2014 dan IKM 2015-2018. Pada tahun 2022 PRAKARSA menginisasi untuk melakukan kembali penghitungan IKM 2019-2021 dan melakukan backcasting satu dekade IKM di Indonesia (2012-2021). Penghitungan IKM ini dilakukan dengan menggunakan metode IKM yang dikembangkan oleh Alkire et.al. (2013) dari Oxford Poverty and Human Initiative (OPHI) University of Oxford.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam kegiatan pengembangan keilmuan dan penyusunan kebijakan pencapaian target penanganan kemiskinan di Indonesia. Kami berharap rekomendasi kebijakan yang tersusun dapat digunakan dan dijalankan oleh pemerintah dan seluruh aktor pembangunan lainnya. Di era saat ini, kolaborasi untuk memberikan jawaban atas penanganan kemiskinan yang lebih tepat sasaran tentu sangat diperlukan. PRAKARSA sebagai salah satu lembaga penelitian dan organisasi masyarakat sipil sangat terbuka terhadap berbagai peluang kolaborasi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan “penanganan kemiskinan dalam semua dimensinya” sebagai agenda utama.