Indonesia Perlu Mereformasi Kebijakan Jaminan Pensiun untuk Meningkatkan Perlindungan Pekerja Mandiri 

Jakarta, The PRAKARSA — Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan The PRAKARSA secara konsisten terus mendorong kebijakan atas pemenuhan hak bagi seluruh pekerja untuk memiliki jaminan pensiun. Jaminan pensiun sampai saat ini masih terbatas dinikmati oleh pekerja penerima upah (formal), sementara belum ada skema nasional untuk jaminan pensiun bagi pekerja mandiri. 

Talk Show dengan tema “Reformasi Kebijakan Jaminan Pensiun: Apakah Pekerja Mandiri Akan Selalu Jadi Anak Tiri?”. Kegiatan ini dilakukan secara hybrid di kantor The PRAKARSA dan live di chanel youtube The PRAKARSA. Pada Jumat (23/08/2024). 

Peneliti The PRAKARSA Aqilatul Layinah, menjelaskan bahwa tema ini diangkat karena relevan dengan konteks tantangan yang dihadapi oleh pekerja mandiri dalam mengakses jaminan pensiun. 

Program jaminan pensiun pada pekerja mandiri akan melindungi di hari tua 

Program manajer The PRAKARSA, Herni Ramdlaningrum  memaparkan hasil riset terbaru The PRAKARSA mengenai jaminan pensiun bagi pekerja bukan penerima upah. “Kita ingin mengetahui kebutuhan dan tantangan spesifik bagi pekerja bukan penerima upah untuk bisa mengakses jaminan pensiun,” katanya. 

Dalam paparannya Herni menekankan, bonus demografi yang akan berakhir pada 2035 memberikan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia, terutama dalam mengintegrasikan angkatan kerja ke dalam skema asuransi sosial. Menurut Herni, “Kita perlu memanfaatkan momen ini untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perlindungan sosial yang memadai.” 

Diperkirakan, jumlah lansia akan meningkat menjadi 48,2 juta jiwa atau 15,8% dari populasi pada 2035. Hal ini akan menggeser proporsi angkatan kerja dan dapat meningkatkan risiko kemiskinan di usia lanjut. “Sekitar 41% dari kelompok pendapatan terbawah adalah lansia. Kita harus berupaya mengurangi risiko ini,” jelas Herni. 

Berkembangnya populasi lansia juga dapat menambah beban ekonomi bagi generasi sandwich, yaitu mereka yang harus merawat orang tua sekaligus anak-anak. “Penting untuk menyediakan dukungan yang memadai agar generasi ini tidak terbebani,” ungkap Herni. 

Lebih lanjut Herni menjelaskan, meskipun tantangan ini ada, terdapat kemauan dan kemampuan dari Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) untuk mengikuti program Jaminan Pensiun (JP). Survei The PRAKARSA (2024) menunjukkan 83% PBPU antusias untuk berpartisipasi. “Ini adalah langkah positif menuju masa depan yang lebih aman bagi semua,” kata Herni. 

Data menunjukkan bahwa rumah tangga PBPU yang menerima manfaat dari program pensiun memiliki pengeluaran 13-17% lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan penerima manfaat. “Hal ini menunjukkan bahwa program jaminan pensiun dapat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan,” tutur Herni. 

Untuk mengakomodasi peserta bukan penerima upah dalam sistem jaminan pensiun, sejumlah perubahan penting perlu dilakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. 

“Pertama, definisi dan ruang lingkup peserta harus diperluas untuk mencakup pekerja mandiri, sektor informal, dan pekerja lepas. Kedua, mekanisme iuran harus lebih fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pekerja bukan penerima upah, serta perlu ada subsidi dari pemerintah bagi yang berpenghasilan tidak tetap atau di bawah garis kemiskinan. Ketiga, manfaat pensiun harus disesuaikan dengan kontribusi iuran pekerja bukan penerima upah, memberikan manfaat dasar yang setara dengan pekerja formal,” jelas Herni.  

Selain itu, menurut Herni yang juga penting untuk diperhatikan adalah prosedur pendaftaran dan kepesertaan harus disederhanakan melalui pendaftaran online atau aplikasi mobile, serta melibatkan komunitas dan organisasi lokal. “Hal ini penting untuk dilakukan untuk menjangkau pekerja informal,” katanya. 

Perlunya perluasan cakupan dan formalisasi tenaga kerja 

Selaras dengan hal tersebut, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gajah Mada Tauchid Komara Yudha, menyebut dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pensiun terdapat dua target utama yang perlu dicapai. Pertama, adalah meningkatkan net pension replacement rate mendekati 70% dari pendapatan sebelumnya. Kedua, memperluas ketercakupan pendapatan pensiun wajib ke sektor informal. 

Selain itu, Tauchid menjelaskan bahwa diperlukan juga kebijakan pendukung untuk mencapai target ini. Salah satunya adalah penerapan sistem penggajian tunggal. “Dengan sistem ini, penghitungan net pension replacement rate tidak hanya berdasarkan gaji pokok, tetapi dari total penghasilan sebelum pensiun,” ujarnya. 

Selain itu, formaliasi pasar tenaga kerja juga menjadi fokus utama. Tauchid merujuk pada contoh Hong Kong, yang berhasil memformalisasi sejumlah pekerjaan informal ke dalam sektor jasa produktif. “Pekerjaan-pekerjaan yang di Indonesia sering kali dianggap rendah, seperti pekerjaan perawatan, harus diakui sebagai profesi yang sama pentingnya dengan pekerjaan kantoran,” tambahnya 

Hadir sebagai penanggap pada talk show kali ini adalah Yanu Endar Prasetyo Direktur IndoBig Network dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada kesempatran ini Yanu menyoroti pentingnya jaminan pensiun bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang berada di kelas rentan dan miskin. 

“Saat pensiun, banyak masyarakat yang langsung jatuh ke kelas rentan, bahkan mendekati garis kemiskinan. Ini menunjukkan bahwa tanpa jaminan yang memadai, pensiunan dapat kehilangan daya beli dan jatuh ke dalam kemiskinan,” ungkap Yanu. 

Yanu juga menekankan perlunya taksonomi yang jelas untuk pekerja di sektor informal. “Kita tidak punya definisi yang jelas, sehingga sulit untuk mengetahui berapa banyak orang yang perlu dilindungi,” ujarnya. Ia mengusulkan agar sektor informal didefinisikan lebih sederhana, agar data dan potensi kepesertaan dalam program pensiun dapat terukur dengan baik. 

Dalam konteks rasio ketergantungan lansia, Yanu menyatakan, “Setiap penduduk produktif harus menanggung orang lansia, dan ini merupakan beban berat.” Masalah ini menjadi semakin kompleks dengan tantangan kesehatan dan pendapatan lansia yang rentan.  “Makan siang bergizi untuk anak sekolah juga penting, tetapi kita tidak boleh melupakan kebutuhan lansia,” jelasnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dasar lansia harus terpenuhi agar mereka tetap sehat dan mandiri. 

Yanu juga menyoroti perubahan nilai sosial terkait perawatan lansia. “Keluarga masih dianggap sebagai bantalan sosial terbaik, dan ini menciptakan tantangan bagi manajemen risiko pensiun, ada kesenjangan antara nilai modern dan tradisional dalam hal ini,” tutup Yanu. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.