Rahmanda Muhammad Thaariq *)
Sejak indeks daya saing diperkenalkan oleh World Economic Forum pada 2008, Indonesia telah berhasil menunjukkan kemajuan yang signifikan. Bagaimana tidak? Pada tahun pertama Indonesia berada di peringkat 58 dunia dan kini merangsek di posisi 36.
Tapi tunggu dulu, dibalik keberhasilan memperbaiki peringkat daya saing, peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia justru tengah melorot. Pada 2008 peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia menempati peringkat 64 dunia (dengan indeks sebesar -0,302), tetapi kini Indonesia berada di peringkat 71 dunia (dengan indeks sebesar -0,306).
Tak sampai disitu, ketika peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia tengah melorot, negara-negara tetangga justru menunjukkan perbaikan. Pada 2008 Malaysia berada di peringkat 30, Thailand 36, Filipina 54, dan Vietnam 73. Sekarang Malaysia menempati peringkat 29, Thailand 32, Filipina 41, dan bahkan Vietnam berhasil menyalip Indonesia dengan berada di peringkat 69.
Disaat indikator daya saing menitikberatkan pada faktor institusi dan kebijakan, indikator kompleksitas ekonomi menekankan pentingya tingkat pengetahuan secara kolektif di masyarakat yang tercermin dari produk yang dapat dihasilkan.
Indikator temuan Ricardo Hausman, begawan ekonomi dari Harvard University, memperlihatkan fakta bahwa negara dengan tingkat kompleksitas ekonomi yang semakin tinggi menikmati pendapatan per kapita yang semakin tinggi.
Sebuah negara dikatakan ekonominya semakin kompleks bila struktur produk ekspor atau industrinya semakin canggih dan terdiversifikasi. Semakin canggih artinya jika semakin sedikit negara yang dapat membuat dan semakin terdiversifikasi jika semakin banyak ragamnya.
Mulai Menjadi Fokus
Memang dibandingkan dengan indikator daya saing, indikator kompleksitas ekonomi kalah populer. Namun belakangan ini banyak ekonom dan pembuat kebijakan di banyak negara mulai menunjukkan perhatian akan pentingnya indikator ini. Lantaran dalam era kompetisi global saat ini, capaian kemajuan suatu negara ternyata sangat ditentukan oleh tingkat kompleksitas ekonominya.
Majunya negara-negara seperti Swiss, Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang terjadi bukan semata-mata bagusnya faktor institusi dan kebijakannya, tetapi juga dikarenakan bagusnya kapabilitas industri dalam menghasilkan produk yang kian kompleks.
Lihat saja jam tangan produksi Swiss, persenjataan militer Amerika Serikat, elektronik Korea Selatan, dan otomotif Jepang. Produk-produk tersebut dari masing-masing negara tersebut merupakan yang paling kompleks di jenisnya.
Melorotnya peringkat Indonesia dari 64 ke 71 dunia mengindikasikan bahwa kapabilitas industri di Tanah Air dalam menciptakan produk yang kian canggih dan terdiversifikasi mengalami kemunduran. Dengan kata lain, pembangunan industri nasional selama ini terlalu berorientasi kuantitas produk (beserta lapangan kerja) dan mengesampingkan peningkatan kapabilitasnya.
Mungkin kebanyakan dari kita tidak mempercayai kabar turunnya peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia. Apalagi menyandingkan dengan indikator-indikator realisasi investasi Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan rapor hijau.
Publikasi tahunan terakhir dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan selama tahun 2012-2016 realisasi investasi telah meningkat dari Rp313,2 triliun ke Rp612,8 triliun atau hampir 100%. Bahkan pada 2017 dikabarkan mencapai Rp692 triliun. Baik investasi asing maupun dalam negeri trennya selalu positif.
Apabila ditelisik lebih dalam, pada 2012 untuk pertama kalinya realisasi investasi untuk proyek baru melebihi perluasan proyek dengan porsi 51%. Dari waktu ke waktu tren pun semakin membesar hingga pada 2016 porsi proyek baru telah mencapai 75% dengan nilai Rp462 triliun dari total realisasi investasi.
Terlebih lagi, realisasi investasi sebagian besar selalu masuk pada sektor sekunder yang notabane memiliki pertambahan nilai yang tinggi dibandingkan sektor primer. Pada 2012 realisasi investasi sektor sekunder sebesar Rp155,8 triliun dan pada 2016 meningkat mencapai Rp335,8 triliun.
Sekilas tampak tak ada yang salah, bukan? Permasalahan ini rupanya bersumber dari indikator-indikator tersebut meskipun menunjukkan rapor hijau, tetap tidak bisa memonitor penggunaan investasi. Akibatnya, tanpa disadari penggunaan investasi selama ini cenderung digunakan pada peningkatan kuantitas produk sejenis yang telah bisa diproduksi oleh Indonesia sebelumnya daripada menciptakan produk baru yang semakin canggih dan terdiversifikasi.
Dan kini terobosan kebijakan investasi pemerintah melalui deregulasi dan percepatan proses perizinan tidak serta merta dapat memperbaiki peringkat kompleksitas ekonomi. Sebab terobosan kebijakan tersebut hanya akan memperbaiki peringkat daya saing. Meski investasi akan melonjak akibat terobosan kebijakan tersebut, tidak ada yang menjamin penggunaan dana investasi yang masuk akan digunakan untuk mengomplekskan produk.
Relatif buruknya peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia seharusnya menjadi ‘alarm’ bagi pemerintah untuk mulai mengintervensi penggunaan investasi. Terbukti tanpa adanya intervensi penggunaan investasi selama ini justru membuat investasi hanya mengarah pada peningkatan kuantitas daripada peningkatan kapabilitas produksi.
Pemerintah perlu segera memasukkan indeks kompleksitas ekonomi menyusul indeks daya saing sebagai bagian target kerja. Jika tidak, bukan tidak mungkin di laporan indeks kompleksitas ekonomi berikutnya peringkat Indonesia tak kunjung membaik.
Jangan sampai Indonesia menyesal di kemudian hari apabila negara-negara tetangga masuk menjadi kategori negara maju lebih awal dibandingkan Indonesia.
*) Rahmanda Muhammad Thaariq, Peneliti Ekonomi di Perkumpulan Prakarsa | Artikel ini terbit di harian Bisnis Indonesia 09 Mei 2018.