Jakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA, lembaga penelitian dan advokasi kebijakan publik bersama dengan koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan hak kelompok rentan diakomodasi dalam Pandemic Agreement.
Dalam acara yang digelar oleh CISDI pada 2 – 3 Mei 2024 lalu, Koalisi Masyarakat Sipil di Indonesia telah berdiskusi dan merumuskan beberapa catatan terkait rancangan Pandemic Agreement. Koalisi berharap rekomendasi yang disampaikan kepada Bapak Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dapat mendorong tercapainya kesepakatan yang adil antar negara dalam menghadapi pandemi berikutnya. Selain ditujukan langsung kepada Menteri Kesehatan, surat juga disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri.
Koalisi sepakat untuk mendorong perwakilan Indonesia dalam perundingan untuk mengambil sikap berdasarkan prinsip kesetaraan, inklusi sosial, dan responsif gender. Delegasi Indonesia harus mempertimbangkan prinsip-prinsip utama ini untuk mewujudkan reformasi tata kelola pandemi global yang adil dan mencerminkan kebutuhan individu dan/atau komunitas yang terkena dampak, termasuk mereka yang tinggal di negara-negara yang sedang berkonflik.
Berikut beberapa catatan khusus koalisi organisasi masyarakat sipil terkait draf Pandemic Agreement berdasarkan hasil rumusan yang telah dilakukan CISDI:
Pertama, koalisi mendesak revisi definisi “orang-orang dalam situasi rentan” dalam rancangan tersebut. Dalam draf tersebut, masyarakat rentan hanya disebutkan sebagai kelompok yang rentan tertular. Koalisi berharap Perjanjian Pandemi dapat mengidentifikasi kelompok rentan berdasarkan disabilitas, gender, status masyarakat adat, kelas sosial ekonomi, konflik, lokasi geografis, dan lain-lain. Revisi definisi kelompok rentan bertujuan untuk memastikan bahwa pasal-pasal aksesibilitas responsif terhadap situasi dan kebutuhan berbagai kelompok rentan.
Kedua, koalisi mendorong Pandemic Agreement untuk menjamin akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, layanan kesehatan primer, dan kesehatan mental, khususnya bagi perempuan dan minoritas gender di masa pandemi.
Ketiga, koalisi mendorong akses yang adil terhadap obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis untuk pencegahan dan respons pandemi. Saat ini, masih terdapat relasi kekuasaan yang timpang antar negara di Global North dan Global South yang berdampak pada transfer teknologi antar negara. Koalisi mendorong isi Pandemic Agreement untuk memastikan akses yang adil terhadap teknologi kesehatan yang dapat membantu mencegah dan merespons pandemi.
Perundingan Pandemic Agreement harus dapat menyepakati mekanisme Sistem Akses dan Pembagian Manfaat Pandemi (PABS), yaitu pemanfaatan sampel patogen dan peningkatan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan yang adil, adaptif, dan responsif. Sejauh ini, mekanisme PABS masih menjadi perdebatan dalam perundingan. Beberapa negara enggan untuk diwajibkan menyediakan obat, vaksin, dan alat kesehatan sebagai kompensasi kepada negara yang telah memberikan sampel patogen. Sementara itu, negara-negara Selatan memandang mekanisme ini dapat menjamin akses yang adil terhadap obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis.
Koalisi ini berharap keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggap pandemi tidak hanya sekedar formalitas.