Jakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA sebagai bagian dari konsorsium penelitian bersama Resilience Development Initiative (RDI), Charles Darwin University dari Australia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dari Bandung, Universitas Kristen Wira Wacana dari Sumba Timur, Habitat for Humanity Indonesia, serta Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) dari Kupang, telah menyelenggarakan advokasi dari riset untuk mengenalkan lebih lanjut Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) kepada pemerintah Indonesia, pada Rabu (17/07/2024).
Pada kegiatan ini, anggota tim menjelaskan aspek perlindungan sosial seperti program-program perlindungan sosial formal yang dilakukan oleh pemerintah yang disebut sebagai perlindungan sosial formal, sampai bentuk-bentuk perlindungan sosial yang dikelola oleh masyarakat menggunakan modal sosial.
Paparan anggota tim diambil dari hasil penelitian di Sumba Timur, NTT, sejak Agustus 2023 lalu. Pada sesi pagi, anggota tim menjelaskan Sejarah dan perkembangan perlindungan sosial di Indonesia. “Perlindungan sosial di Indonesia berkembang sejak tahun 1998 setelah krisis keuangan Asia. Program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan contoh program yang dilaksanakan untuk agenda pengentasan kemiskinan,” tutur Ayu dari UPI Bandung.
Perlindungan sosial sediri sudah dikelola oleh masyarakat sumba timur. “Terdapat unsur hirarki sosial seperti kelompok Atta sebagai kelompok masyarakat kelas bawah dan Umbu sebagai kelompok elit. Masing-masing memiliki modal sosial yang digunakan untuk memberikan perlindungan sosial pada anggota kelompok. Selain itu ada juga budaya Maramba, yakni menukarkan hasil bumi atau sumber daya lainnya kepada sesama keluarga yang sangat bermanfaat selama masa sulit seperti gagal panen, tidak dapat melaut, maupun bencana seperti Covid-19 dan Badai Topan Seroja,” ungkap John P. Tallan, anggota konsorsium dari IRGSC Kupang.
Pada sesi siang, Victoria Fanggidae selaku Deputi Direktur The PRAKARSA menyampaikan paparan terkait integrasi perlindungan sosial formal dan informal yang dikelola masyarakat. Integrasi merupakan upaya untuk melihat potensi penguatan PSA yang diambil dari praktik baik yang ada di Sumba Timur. Victoria menjelaskan bahwa terdapat banyak sekali aktor dalam perlindungan sosial di Sumba Timur, aktor tersebut bisa berbentuk individu seperti saudara dan keluarga besar, renternir, sampai pada tingkat kelompok seperti kelompok arisan, gereja, atau koperasi. Pada Tingkat paling atas adalah lembaga seperti perbankan, LSM/NGO, maupun pemerintah.
“Masing-masing aktor memiliki bentuk dan target perlindungan sosial masing-masing. Namun, setiap aktor saling terkait dan membentuk hubungan yang dapat menjadi potensi penguatan pelaksanaan perlindungan sosial adaptif di Sumba Timur,” tutur Victoria.
Pada sesi berikutnya, anggota tim lainnya menjelaskan faktor apa saja yang perlu diperkuat dalam masyarakat Sumba Timur untuk menghadapi risiko perubahan iklim dan bencana. “Diperlukan kesadaran dan pengetahuan tentang perubahan iklim dan risiko bencana, baru setelah itu masyarakat dapat paham tentang Tindakan apa saja yang perlu mereka lakukan. Selain itu masyarakat juga membutuhkan adanya perlindungan sosial formal untuk memperkuat resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana,” ungkap Maklon Killa, anggota konsorsium penelitian dan sekaligus merupakan Rektor Universitas Kristen Wira Wacana Waingapu, NTT.
Setelah paparan, anggota tim penelitian mendapatkan beberapa tanggapan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Kementerian Desa & PDTT. Tanggapan dari beberapa lembaga pemerintah menekankan bahwa adanya penelitian tentang PSA ini menjadi masukan penting bagi pemerintah dalam merancang program PSA yang efektif. “PSA ini membutuhkan dukungan data risiko dan potensi kemiskinan yang komprehensif, kelembagaan yang handal, serta perlunya dukungan pembiayaan yang berkelanjutan. Penelitian ini menambah wawasan terkait perlunya peta bencana dan risiko yang bersifat kewilayahan dan tidak dapat digeneralisir,” begitu ungkap Dinar Dana Kharisma, perwakilan dari BAPPENAS RI.
Kegiatan ditutup dengan harapan bahwa pertemuan ini bukan pertemuan terakhir namun berlanjut di pertemuan lain yang membahas bentuk PSA secara kontekstual pelaksanaan program-program perlindungan sosial, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim.