Jakarta, The PRAKARSA (Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan) – Agenda hilirisasi industri yang menjadi agenda prioritas pembangunan Pemerintahan Prabowo-Gibran masih kental dengan praktik eksploitasi pekerja. Hingga saat ini kepastian jaminan sosial dan upaya penegakan hukum bagi perusahaan yang melanggar pemenuhan hak-hak buruh belum serius dilakukan oleh pemerintah.
Hal ini disampaikan pada diskusi publik bertajuk “Hilirisasi dan Perlindungan Buruh” yang berlangsung pada Rabu (4/12/2024) di Jakarta yang diselenggarakan oleh Sahita Institute, KASBI, FPBI dan KPR. Diskusi publik turut dihadiri Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan, S.Sos sebagai keynote speaker. Hadir juga para stakeholder dari kalangan pengusaha, serikat buruh, Kementerian, NGO dan peneliti yang terkait dengan isu hilirisasi.
Eka Afrina Djamhari, Research and Knowledge Manager The PRAKARSA hadir dalam kegiatan tersebut untuk memberikan tanggapan secara khusus mengenai jaminan sosial terhadap buruh. Eka menyampaikan janji atas manfaat hilirisasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, hingga saat ini, janji tersebut tampak belum terwujud secara nyata. Hal ini ditemukan dalam riset PRAKARSA yang berjudul Melacak Jejak Pembiayaan: Dampak Lingkungan dan Sosial Industri Nikel di Indonesia
“Banyak kritik muncul, saat ini penghiliran nikel justru berorientasi pada profit semata, mengabaikan hak-hak para pekerja, masyarakat lokal, dan dampak lingkungan. Contoh nyata dapat dilihat di kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah (IMIP), di mana kondisi ketenagakerjaan jauh dari harapan. Proses rekrutmen yang tidak transparan, pemindahan tenaga kerja tanpa kejelasan, dan kontrak kerja yang berubah-ubah menjadi isu utama. Pekerja sering dipaksa untuk lembur demi mendapatkan upah yang layak, bahkan di tengah ancaman pemotongan upah atau pemecatan. Situasi tersebut tentunya sangat berkontribusi pada tingginya risiko kecelakaan kerja,” ungkap Eka.
Eka juga menegaskan meskipun sudah ada regulasi yang menjanjikan perlindungan sosial bagi pekerja, seperti dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Peraturan Presiden tentang Jaminan Sosial, kenyataannya, kepesertaan program Jamsosnaker masih sangat rendah.
“Hanya 29,72% total pekerja yang terdaftar dari jumlah penduduk yang bekerja di tahun 2023. Dari total peserta, 31,95% diantaranya berstatus tidak aktif. Segmen PPU memiliki jumlah peserta non-aktif paling tinggi yakni 42,57%,” tambah Eka
Banyaknya peserta non-aktif disebabkan karena sebagian besar perusahaan tidak mematuhi kewajiban untuk membayarkan atau tidak mendaftarkan karyawan mereka. Hal ini menunjukkan lemahnya penegakan kebijakan yang ada dan kurangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja.
Eka mendesak agar pemerintah segera meninjau kembali berbagai regulasi yang justru membuka celah bagi penyimpangan hak pekerja diantaranya Undang-Undang Cipta Kerja dan regulasi soal proyek strategis nasional. Untuk jaminan sosial, pengawasan ketat dan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan harus diterapkan untuk memastikan bahwa janji hilirisasi tidak hanya sekadar retorika, melainkan berdampak positif bagi semua pihak, terutama para pekerja yang menjadi tulang punggung industri ini.