Lansia dan Pentingnya Layanan Perawatan Sosial Menyeluruh

Lansia tak sekadar membutuhkan bantuan sosial, tetapi perawatan sosial untuk meningkatkan kompetensi individunya.

Foto: Dominik Lange/unsplash.com/@the_real_napster

Oleh: Victoria Fanggidae (Deputi Direktur The PRAKARSA)

Sejumlah media pada medio Januari 2024 memberitakan tentang kematian lansia sebatang kara. Di tengah ingar bingar menjelang pemilu, berita ini pun terpinggirkan. Padahal, ini merupakan pertanda masih buruknya kondisi kesejahteraan kita dan harus menjadi alarm tanda bahaya bagi penyelenggara negara dan publik.

Fenomena lansia yang telantar, baik karena memilih untuk hidup sendiri maupun hidup sendiri karena keadaan, dan kemudian ”mati dalam sunyi”—mengutip kompas.com—hanyalah fenomena gunung es dari berbagai persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini. Dua pertiga penduduk Indonesia saat ini masih terdiri atas kaum muda dan produktif, tetapi sejak 2020 penduduk Indonesia mulai menua. Saat ini hampir 12 persen penduduk Indonesia lansia di atas 60 tahun. Pada tahun Indonesia Emas 2045, seperlima penduduk Indonesia adalah lansia.

Kemiskinan masih merupakan momok bagi sebagian besar lansia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa 10 persen lansia berada di bawah garis kemiskinan, kurang dari 15 persen bekerja di sektor formal, dan lebih dari 60 persen hanya tamat atau tidak tamat SD. Saat ini, mayoritas program bantuan sosial yang menyasar lansia masih lebih terkonsentrasi kepada kelompok sangat miskin ini, yang cakupannya pun masih sangat rendah.

Lansia yang mengalami penurunan mobilitas, kesehatan, dan daya ingat membutuhkan lebih dari sekadar bantuan sosial yang bersifat sporadis dan minimum, tetapi perawatan sosial. Meminjam Cantor (1989), konsep perawatan sosial (social care) didefinisikan sebagai perawatan formal dengan dukungan informal dari keluarga dan teman.

Sifat utama perawatan adalah untuk memungkinkan lansia memenuhi kebutuhan kritis terkait dengan fungsi mandiri, termasuk sosialisasi, pengembangan pribadi, bantuan dalam tugas sehari-hari, dan dukungan selama sakit atau krisis. Gagasan inti perawatan sosial berakar pada keyakinan bahwa bantuan bertujuan meningkatkan kompetensi individu dan penguasaan lingkungan, bukan menumbuhkan ketergantungan.

Sebenarnya, pemerintah sudah memasukkan konsep ini dalam RPJMN 2020-2024. Dalam target dan arah kebijakan, disebutkan bahwa pemerintah akan mengembangkan sistem perawatan jangka panjang terintegrasi dan holistik.

Ada beberapa program pemerintah yang sudah mengadopsi prinsip-prinsip perawatan sosial yang holistik, misalnya Atensi-LU (asistensi rehabilitasi sosial lanjut usia) yang menangani serangkaian permasalahan komprehensif yang dihadapi oleh populasi lansia. Atensi-LU bertujuan mempersiapkan lansia menuju proses penuaan yang sejahtera, bermartabat, dan bahagia, yang lebih dari sekadar bantuan medis.

Namun, ada dua hal yang memengaruhi apakah lansia menerima perawatan sosial, yaitu ketersediaan (availability) dan aksesibilitas (accessibility), termasuk pemanfaatan (utilisation). Dalam banyak kasus, lansia menderita karena beberapa faktor.

Riset The Prakarsa (2023) mengenai kondisi lansia di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa mereka yang mengalami eksklusi sosial dari sistem relasi, baik keluarga maupun komunitas, tidak punya akses pada bantuan walaupun tersedia.Gagasan inti perawatan sosial berakar pada keyakinan bahwa bantuan bertujuan meningkatkan kompetensi individu dan penguasaan lingkungan.

Nenek NA misalnya, salah satu lansia subyek penelitian yang tinggal sendirian. Walaupun tinggal di DKI Jakarta dengan pemerintah daerah yang memiliki cukup banyak program untuk kesejahteraan lansia, ia masih tereksklusi dari semua program tersebut.

Ia hanya bergantung pada belas kasihan keluarga dan tetangga yang sesekali membawakan makanan atau sedikit uang. Ia miskin bukan saja karena tidak punya uang, melainkan juga tidak punya keluarga dekat yang mampu merawatnya, dan juga tidak memiliki informasi apa pun mengenai cara mengakses bantuan sosial, apalagi jaminan sosial.

Lantas, bagaimana perawatan kepada lansia seharusnya dilakukan di Indonesia?

Indonesia bisa belajar dari beberapa negara maju yang menganut prinsip negara kesejahteraan. Jepang, misalnya, memadupadankan nilai-nilai budaya dan komitmen negara untuk hadir melalui pusat perawatan terpadu berbasis komunitas yang memberikan perawatan holistik bagi lansia di komunitasnya. Program ini menjaga lansia tetap berada di rumah dan komunitasnya dengan mengintegrasikan perawatan medis, perawatan jangka panjang, dan dukungan kehidupan sehari-hari.

Contoh lainnya adalah Swedia, melalui program perawatan lansia di rumah. Program ini menekankan layanan dan dukungan perawatan di rumah sehingga lansia dapat menua di tempat dengan nyaman. Lansia menerima rencana perawatan yang dipersonalisasi, mencakup kunjungan layanan kesehatan ke rumah, bantuan dalam aktivitas sehari-hari, dan dukungan sosial.

Usulan

Indonesia dapat melakukan hal-hal berikut. Pertama, memperluas cakupan program perawatan sosial, termasuk membangun sistem pelaporan dan pendataan yang lebih proaktif.

Lansia seperti Nenek NA memerlukan bantuan, tetapi untuk mengakses bantuan itu, ia membutuhkan informasi. Siapa yang akan mendata dan memasukkan nama mereka sebagai penerima manfaat? Fasilitator pendamping masyarakat dapat diaktifkan untuk melakukan pendataan dan pembaruan data.

Kedua, mengembangkan pusat layanan bagi lansia di tingkat komunitas. Pusat layanan ini dapat menjadi perpaduan dukungan sosial formal dan informal. Berada di tengah masyarakat memudahkan lansia untuk dapat mengakses layanan yang diberikan sesuai ragam kebutuhan para lansia, seperti akses informasi, konseling, dan koordinasi berbagai layanan dukungan. Posyandu lansia yang sudah ada dapat diperluas fungsinya.

Ketiga, mendorong terciptanya social investment dengan sektor swasta diberi peluang untuk terlibat dalam isu-isu sosial, seperti penyediaan rumah layanan/perawatan lansia, khususnya bagi mereka yang kurang mendapat dukungan keluarga. Agar layanan-layanan ini lebih mudah diakses, pemerintah harus memastikan keterjangkauan dan inklusivitas dan mempertimbangkan skema program bantuan subsidi untuk mengaksesnya.

Keempat, peningkatan kualitas griya lansia milik pemerintah ataupun swasta dan komunitas dengan cara menetapkan standardisasi sarana dan prasarana, kualitas SDM, dan kepatuhan terhadap pedoman dan etika dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi penghuni lansia.

Jika mengingat kembali gegap gempita kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden dalam menjabarkan visi dan misinya, kita dapat melihat bagaimana isu kelansiaan mendapatkan porsi marjinal dari perdebatan para pasangan capres-cawapres. Isu yang lebih banyak muncul dan dianggap seksi adalah isu tentang anak dan pemilih muda dan bagaimana negara akan memberikan perhatian kepada mereka.

Semoga ini bukan indikasi pemerintah ke depan akan mengabaikan lansia. Karena lansia yang tidak terurus menunjukkan adab bangsa yang rendah, dan membuat kita tertatih-tatih menyongsong Indonesia Emas 2045.

***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id dengan judul “Lansia dan Pentingnya Layanan Perawatan Sosial Menyeluruh”. Klik untuk membaca: kompas.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.